Go Public, LINE Cerminan Masa Depan Media Sosial?

marketeers article

Semua mata di Silicon Valley dan Wall Street tertuju pada sebuah aplikasi yang kebanyakan orang Amerika tidak pernah mengunduhnya. Ya, aplikasi pesan instan asal Jepang LINE baru saja melakukan IPO di Negeri Paman Sam.

Line memang aplikasi yang populer di Thailand, Taiwan, Jepang, dan juga Indonesia. Line yang merupakan milik perusahaan Jepang, Naver Corp, memulai perdagangan saham perdana di New York Stock Exchange pada Kamis (15/7/2016). Hal tersebut menandai IPO terbesar perusahaan teknologi sepanjang tahun ini.

Di luar negara-negara Asia di mana Line berhasil mengantongi 218 juta pengguna bulanan, Line bisa dibilang tak sekadar media chatting. Aplikasi itu memiliki banyak fungsi, mulai dari menelepon, berbagi pesan, bermain game, platform pembayaran mobile, membaca berita, hingga layanan streaming musik.

Di samping itu, Line memiliki toko ritel Line Shop dan berhasil menjual stiker digitalnya dengan omzet ratusan juta dollar AS per tahun. Ini ibarat kombinasi WhatsApp, Skype, Twitter, Zynga, Spotify, dan Uber dalam satu platform.

Meski potensial, Line mesti menghadapi tantangan berat, yaitu mengenai tren turunnya jumlah pengguna media sosial yang signifikan, khususnya di negara-negara luar Asia.

Di sisi lain, pesaingnya seperti WhatsApp (yang sahamnya dimiliki Facebook) dan WeChat telah tumbuh begitu cepat secara global, lantaran mereka telah berekspansi di kala tren media sosial sedang meroket.

Tetapi kekhawatiran akan pertumbuhan Line nampaknya tidak akan mematahkan minat investor untuk menimang saham Line yang pada awal perdagangan dilepas sebanyak 22.000 lembar saham.

Perusahaan ini diprediksi meraih pendanaan lebih dari US$ 1 miliar lewat IPO itu. Sebagian terjadi karena langkanya perusahaan teknologi melakukan go public di AS.

“Line, yang menunda rencana go public sejak tahun 2014 telah menerima banyak manfaat kali ini. Sebab tak begitu banyak penawaran saham perdana terjadi,” kata James Gellert, CEO Rapid Ratings seperti dikutip dari CNN.com.

Line menjadi perusahaan teknologi kelima yang go public tahun ini, atau turun dari periode yang sama tahun 2015 yang telah menyentuh 14 perusahaan.

Pasalnya, banyak startup teknologi besar yang memilih untuk duduk di luar pasar saham yang bergejolak. Mereka cenderung mengumpulkan dana dari investor swasta atau private equity.

Jika aplikasi messaging macam Line berhasil menjual sahamnya selama IPO, hal tersebut dapat memberikan sinyal positif kepada perusahaan teknologi lain untuk berpikir ulang mengenai strategi “go private” mereka selama ini.

“Satu perusahaan tidak membuat tren, akan tetapi dua perusahaan mungkin,” kata Ethan Kurzweil, anggota Bessemer Venture Partners, investor terbesar Twilio, sebuah aplikasi messaging yang juga baru IPO bulan lalu.

“Jika itu benar-benar sukses, perusahaan lain akan menganggap itu sebagai sinyal untuk diikuti,” lanjutnya lagi.

Di luar dari kurangnya minat perusahaan teknologi untuk go public, investor melihat secercah harapan pada Line ketimbang jejaring sosial macam Facebook dan Twitter. Jumlah yang besar, keterlibatan pengguna, hingga begitu banyaknya cara monetisasi dianggap sebagai kekuatan Line saat ini.

Line diciptakan pada tahun 2011 oleh sebuah tim kecil berisi karyawan Naver, perusahaan Internet asal Korea Selatan. Awalnya, Line dibuat sebatas alat komunikasi paska gempa berkekuatan 9 skala richter yang melanda Jepang dan memicu gelombang tsunami besar.

Selama setahun beroperasi, aplikasi ini memiliki 50 juta pengguna, lebih cepat dari Facebook. Line berhasil mencapai 100 juta pengguna kurang dari setahun setelahnya.

Masa Depan Media Sosial

Secara cakupan, Line sekarang mulai mirip Twitter. Meskipun kita tahu, pertumbuhan pengguna Twitter mengalami perlambatan. Hal itu memaksa Line untuk menemukan cara baru agar dapat mencetak lebih banyak uang dari orang-orang yang menggunakan aplikasinya,

Bagi pemain industri teknologi, Line dipandang sebagai teknologi masa depan, di mana banyak perusahaan teknologi dan para startup mulai berfokus pada aplikasi messaging.

Chatting mulai memanas di AS, dan kami baru saja menyadari apa yang kemungkinan terjadi di sini (AS),” kata Rod McLeod, juru bicara Kik, aplikasi messaging asal Kanada yang valuasinya senilai US$ 1 miliar. “Trennya, IPO berikutnya adalah perusahaan aplikasi chatting,” ungkapnya lagi.

Pertanyaannya, dapatkah aplikasi messaging benar-benar dapat diandalkan sebagai kanal pembayaran, platform memanggil taksi, dan streaming musik? Apakah penjualan stiker dan barang virtual dapat memberikan pendapatan jangka panjang yang layak bagi aplikasi chatting?

Selanjutnya, yang juga harus dijawab adalah, akankah aplikasi messaging hanya mendominasi negara-negara tertentu seperti yang dilakukan Line di Jepang? Atau pada akhirnya hanya ada satu aplikasi yang eksis yang mampu melakukan semua hal?

Kurzweil, investor Bessemer mengatakan bahwa Facebook, Twitter, Google, dan Snapchat akan mengikuti jejak Line karena dinilai sebagai era media sosial selanjutnya.

Dengan semakin menurunnya aktivitas pengguna di media sosial, kemungkinan media sosial tergantikan oleh aplikasi chatting bisa saja terjadi. Bahkan, lebih cepat dari yang diperkirakan. Kita lihat saja.

Editor: Sigit Kurniawan

Related