Makanan Halal, Do Not Take it For Granted

marketeers article

Dengan 80% masyarakatnya memeluk Islam, makanan halal di Indonesia menjadi sesuatu yang take it for granted alias menerimanya dengan begitu saja. Publik banyak berpikir “Jika saya makan ayam, maka ayam itu pasti halal?”. Memang, ayam bukanlah hewan yang diharamkan, namun tidak serta merta proses penyembelihan ayam itu pasti dilakukan secara halal (sesuai ketentuan Islam).

Kita layak menyadari bahwa perlakuan konsumen terhadap produk halal di negara muslim terbesar agak berbeda jika dibandingkan dengan negara minoritas muslim. Keberadaan sertifikasi halal pada produk makanan, amat sangat dirasakan manfaatnya oleh konsumen negara non-muslim itu.

Abdalhamid Evans, seorang ahli strategi dari Imarat Consultant, firma yang mengkhususkan diri pada pasar halal mengatakan, “Produk halal apabila dirancang dan dipasarkan dengan baik dapat menarik masyarakat umum, bukan cuma muslim. Halal kini bergerak dari niche ke main stream“.

Pernyataan Evans memang sudah terbukti. Di Inggris, produsen pemasok daging, Swansea, memutuskan untuk tidak lagi menjual daging babi dan fokus menjual daging sapi atau domba secara halal. Keputusan itu mereka ambil selain melihat pasar muslim di London yang semakin tinggi, juga karena publik umum menerima produk-produk halal dengan baik.

“Makna halal menjadikan produk tersebut higienis, aman, dan sehat,” kata Wilf Lewis, pemilik perusahaan tersebut seperti dikutip dari The Guardian.

Daging halal sejatinya berasal dari hewan yang disembelih sesuai dengan hukum Islam. Hewan itu harus hidup dan sehat pada saat hari penyembelihan, disembelih menggunakan tangan, serta saat disembelih membaca lafaz Allah.

Lebih jauh, Dewan Muslim Inggris mengungkapkan bahwa nilai pasar industri kuliner halal di Inggris mencapai 3 juta poundsterling atau setara Rp 56 miliar. Bahkan, 80% daging halal yang dijual di Inggris disembelih secara hukum Islam.

Tren halal food juga merebak di negara adidaya Amerika Serikat. Amanullah, pendiri situs Zahibah.com (situs pencarian produk halal Amerika) mengatakan bahwa ketika dirinya menciptakan situs tersebut pada tahun 1998, ia hanya menemukan 200 restoran yang menyajikan makanan halal di Amerika. Namun, kini, ia mencatat ada sekitar 7.600 restoran.

Walau pasarnya ceruk, pertumbuhan makanan halal di AS meningkat pesat. Lembaga konsultan global AC Nielsen pernah mencatat bahwa nilai pasar restoran dan produk halal di negeri Paman Sam itu menyentuh US$ 20 miliar pada tahun 2016, naik sepertiga dari torehan tahun 2010.

Tren makanan cepat saji halal juga semakin populer berkat ekspansi masif yang dilakukan oleh ritel food & beverage asal New York, The Halal Guys. Restoran ini telah membuka gerainya di Filipina, Indonesia, dan Malaysia, yang mana sekitar 30 lebih gerai bakal hadir di tiga negara itu dalam waktu dekat.

The Halal Guys juga telah memperoleh tawaran waralaba hingga 200 gerai yang rencananya dibuka di Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam.

Restoran ini berawal dari keinginan sang pendiri untuk menghadirkan makanan streetfood halal bagi muslim di New York. Dulu, konsumennya adalah para supir taksi yang mayoritas berasal dari Afrika Utara dan beragama Islam. Seiring berjalannya waktu, konsumen yang menikmati makanan kreasi The Halal Guys berasal dari latar belakang agama apapun.

Konsumen yang tidak tahu soal halal menjadi bertanya-tanya mengenai apa itu halal dan bagaimana proses kerjanya. Lambat-laun, publik pun mengakui bahwa halal adalah sesuatu yang baik dan bersifat universal.

Dengan demikian, konsumen muslim mesti menempatkan “halal” sebagai sesuatu yang bukan take it for granted. Perlu usaha bagi pemasar untuk bisa menjadikan halal sebagai komunikasi marketing yang memberikan manfaat.

Kesuksesan The Halal Guys bisa menjadi rujukan para pemasar. Konsep halal yang selama ini dianggap milik kaum muslim saja, malah berhasil diadopsi oleh semua kalangan. Halal is not for muslim only, but also for everyone.

 

Editor: Saviq Bachdar

 

Related