Diskon hingga Malas Repot, 9 Perilaku Digital Payment di Indonesia

marketeers article

Bisa jadi, bisnis digital payment di Indonesia akan menjadi bisnis yang menjanjikan di masa depan. Hal itu tidak terlepas dari tingginya penetrasi smartphone dan masih rendahnya akses keuangan di Indonesia. Apalagi, para pemain digital payment ini menghadirkan berbagai kemudahan dalam bergabung, kepraktisan dalam penggunaan, hingga efisiensi dalam transaksi.

Lantas seperti apa perilaku masyarakat Indonesia ketika bertransaksi melalui digital payment? Dengan berkolaborasi bersama Alvara Research Center, Google Indonesia, iPrice, KATADATA, McKinsey & Company, Snapcart, The Asian Parent, dan Visa; Marketeers menyajikan sembilan tren digital payment di Indonesia.

 

  1. Perempuan lebih canggih ketimbang pria

Perempuan muda Indonesia (usia 25-34 tahun) lebih mudah mengadopsi uang digital ketimbang pria. Riset Google bersama GfK bertajuk Digital Wallet Study 2017 menyebutkan perempuan muda Indonesia menggunakan uang digital untuk berbelanja online, membeli pulsa/paket data, membeli saldo dan membayar layanan transportasi online.

  1. Dunia maya, sumber informasi uang digital

Riset via mesin pencari dan komen di media sosial menjadi sumber informasi ketika seseorang ingin menggunakan uang digital. Google menyebutkan, 42% nasabah perbankan dan 46% nasabah non perbankan mencari informasi uang digital melalui internet. Sedangkan 39% nasabah perbankan mencari informasi dan penawaran dari media sosial.

  1. Indonesia paling siap go cashless

Menurut riset Visa bertajuk Visa Payment Study 2017, sekitar 76% responden percaya diri tanpa uang tunai selama 24 jam. Angka ini paling tinggi dibandingkan negara Asean lainnya.

  1. QR Code: cepat, mudah, tidak repot

Tren pembayaran QR Code berpeluang menjadi pilihan metode pembayaran di Indonesia. Menurut riset Visa, sekitar 57%  responden tahu dan tertarik mencoba metode ini. Alasannya beragam, mulai dari kecepatan, mudah digunakan, dan tidak perlu mengisi data personal dengan detail.

  1. Terima kasih kepada smartphone

Murahnya data internet di Indonesia –kedua setelah India-, membuat semakin banyak yang terhubung dengan internet. Hal itu telah mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia dalam bertransaksi. Riset McKinsey bertajuk The Digital Archipelago melihat, jumlah transaksi masyarakat Indonesia dalam bertransaksi perbankan –khusus bagi nasabah-, telah naik dari 6 kali per bulan pada 2014 menjadi 10 kali pada tahun 2017. Jika pada 2014, sekitar 72% dilakukan pada jaringan ATM dan cabang, kini transaksi di cabang tradisional hanya berkisar 60%. Penggunaan aplikasi pada smartphone pun mengalami peningkatan dari 17% menjadi 25%.

  1. Transfer masih mendominasi

Menurut riset Snapcart bersama Marketeers, 69% pembelanja online di Indonesia masih menggunakan fasilitas transfer. Jika dibedah lebih lanjut, mayoritas responden melihat bahwa mereka telah terbiasa dengan metode ini. Selanjutnya, transfer dianggap sebagai metode pembayaran paling dipercaya.

  1. Menggunakan e-wallet karena diskon

Diskon masih menjadi pemanis. Menurut riset Snapcart, sekitar 84% responden menggunakan e-wallet demi mendapatkan promosi, potongan harga/cashback. Angka ini terbilang tertinggi jika dibanding metode pembayaran lain, seperti kartu kredit, debit, atau lainnya.

  1. Belajar dari Indomaret dan Alfamart

Indomaret dan Alfamart adalah peritel yang memiliki gerai terbanyak di Indonesia. Hal ini membuat banyak pembelanja yang menjadikan Indomaret dan Alfamart untuk membayar transaksinya di dunia online. Unik memang. Belanjanya di online, tapi mereka harus menuju Indomaret atau Alfamart ketika ingin membayar. Menurut riset Snapcart, sekitar 80% responden menggunakan metode ini karena kedua peritel itu sangat mudah dijumpai.

  1. Berani mencoba, tapi yang remeh

Pembayaran contactless bakal menjadi primadona, apapun bentuknya. Konsumen Indonesia pun diprediksi tak ragu menggunakan layanan ini untuk pembelian yang bersifat remeh. Riset Visa menunjukkan, 45% responden mau menggunakan pembayaran contactless untuk membeli makanan dan minuman. Sisanya disusul untuk pembelian pakaian, asesoris, belanja di minimarket, serta membayar tol.

 

Artikel selengkapnya bisa dibaca pada
Marketeeers edisi Oktober 2018 dengan tajuk utama 

Research Report on Digital Shopping & Payment

Related