Amartha, Bukti Fintech Bisa Jangkau Masyarakat Tak Berteknologi

marketeers article
72999842 indonesian woman selling fresh vegetables at the market in semarang. january 9, 2014 java, indonesia

Sektor financial technology atau fintech mulai mengalami masa berkembang. Beda halnya sektor e-commerce yang mulai menemukan ritme setelah booming-nya terjadi satu sampai dua tahun ke belakang. Industri fintech boleh dikatakan masih seumur jagung, menilik usia pemain-pemainnya yang rata-rata masih satu tahun bahkan kurang.

Sebut saja Investree, KoinWorks, sampai Modalku. Mereka adalah para pemain-pemain berusia muda di industri ini. Ada lagi Amartha, fintech berjenis peer to peer lending seperti tiga kawan-kawan lainnya. Setiap fintech punya pangsa pasar berbeda-beda. Khusus Amartha, mereka menargetkan masyarakat kelas menengah bawah di kawasan non-urban. Tanpa akses teknologi, apalagi punya akun di bank. Bagaimana bisa?

Sektor fintech peer to peer lending sejatinya merupakan marketplace bagi peminjam dan penyalur modal. Contohnya seperti ini, sebuah UKM perlu modal untuk majukan usahanya. Maka ia masuk ke platform peer to peer lending untuk mencari investor. Mereka para investor alias pemilik modal yang tertarik bisa langsung menyalurkan dana untuk si UKM. Semuanya lewat platform teknologi, seperti halnya seorang konsumen mencari barang di Tokopedia maupun Bukalapak.

Namun pertanyaannya adalah bagaimana Amartha yang resminya belum berusia satu tahun itu bisa menjangkau masyarakat tanpa teknologi tersebut. “Target pasar kami adalah masyarakat di kawasan non-urban seperti pemilik warung, penjual makanan, sampai pengrajin kecil. Salah satu area yang kami datangi ada di kawasan kabupaten Bogor. Di sana masyarakat miskinnya masih banyak dan ekonominya didorong dari sektor informal,” ujar Vice President Amartha Aria Widyanto.

Tentu saja menurut Aria masyarakat di kawasan tersebut jauh dari hingar bingar teknologi. Mereka juga tidak punya akses ke perbankan. Maka tidak heran usaha mereka tidak berkembang karena tidak bisa meminjam ke bank. Yang membuat mereka punya akses ke para investor adalah effort dari pihak Amartha sendiri.

Masyarakat ini tidak memasukan data mereka sendiri ke platform berbasis website milik Amartha. Tapi para staf Amartha-lah yang melakukannya. Mereka melakukan survei langsung ke lapangan dan mendata bisnis-bisnis kecil yang bisa didanai. Lalu data-data terkait usaha sampai kebutuhan dana itu diinput ke website Amartha.

Baru kemudian para investor bisa melihat data-data atau bisnis mana saja yang mereka mau danai. Para investor tentu saja masuk ke Amartha secara langsung karena mereka adalah orang-orang yang sudah tidak gagap teknologi. Setelah melihat langsung bisnis mana yang potensial, baru mereka akan pilih dan salurkan dana ke peminjam modal.

“Kami data dan wawancara langsung para calon peminjam modal. Kami punya parameter dan metrik tersendiri terkait kelayakan mereka. Selain dari sisi kesiapan finansial ada juga dari sisi psikologis. Makanya kami ini unik dan mungkin metode tersebut belum dipraktikan oleh siapapun, termasuk di sektor finansial,” klaim Aria.

Gotong Royong

Lalu berapa bunga dikenakan kepada para pengusaha kecil tersebut? Aria mengatakan bahwa Amartha hanya membiayai sektor usaha, bukan untuk konsumsi. Bunganya macam-macam tergantung jenis usaha dan risikonya, mulai dari 10% per tahun sampai bisa 20%. Pengembaliannya pun tidak per bulan, tapi per minggu. Jadi dari segi nominal bunga terasa lebih ringan dibanding bunga bulanan.

Keunikan lain adalah para peminjam tidak bergerak sendiri-sendiri. Tapi mereka dikumpulkan dalam sebuah majelis kecil. Para staf lapangan Amartha seperti membentuk komunitas kecil berisikan para peminjam di sebuah kawasan. Mereka ini akan berkumpul setiap satu minggu sekali sesuai dengan tenor masa pengembalian.

“Ya begitu cara kami mengumpulkan dana pengembalian dari peminjam. Tapi majelis tersebut tidak hanya punya fungsi mengumpulkan lalu tarik uang. Staf kami juga memberikan edukasi pengaturan keuangan sampai perencanaan bisnis di sana. Sehingga ketika mereka selesai, setidaknya mereka tahu cara mengatur keuangan bukan hanya untuk usaha mereka tapi juga rumah tangga. Semisal kalau pendapatan segini, nanti berapa buat saving, berapa buat kebutuhan sehari-hari, sampai berapa buat kembalikan modal,” ungkap Aria.

Fungsi dibentuknya majelis juga untuk menghindari kredit macet karena peminjam tidak bisa mengembalikan dana. Contohnya jika dalam majelis ternyata ada satu orang tidak bisa membayar, maka yang lain akan ramai-ramai menutup. Dengan sistem itu Aria menjamin tidak akan ada kredit macet dan Amartha belum merasakannya sama sekali sampai kini.

Nah, bagi peminjam modal ada batasannya seberapa banyak uang bisa disalurkan. Aria mengatakan besarannya Rp3 juta sampai Rp10 juta. Kecil pastinya namun karena memang pasar mereka ada di situ. Sementara bagi investor bisa menyetor minimal Rp1 juta saja dan maksimal tidak ada limit. Namun Aria berpegangan pada peraturan pemerintah yang memungkinkan pemilik dana bisa menyalurkan uang mereka di angka maksimal Rp2 miliar.

Sampai saat ini sudah ada sekitar 30.000 usaha hadir di Amartha. Namun angka cukup besar tersebut bukan keunikan lain yang ada di Amartha. Hanya perempuan yang bisa menjadi peminjam. Laki-laki tidak diperbolehkan. Mengapa? “Menurut survei kami, perempuan di kawasan non-urban lebih bertanggungjawab kepada keluarga. Mereka lebih bijak ketika menyimpan dan membelanjakan uang mereka. Sementara laki-lakinya jika punya uang lebih akan konsumtif semisal membeli rokok,” tutup Aria.

    Related