Apa Definisi Membaca di Era Serba Digital Saat Ini?

marketeers article

Apa definisi membaca di era modern sekarang ini? Membaca bukukah atau membaca berita di platform digital lewat smartphone saja sudah disebut membaca?

“Ketika seseorang mencari informasi dan yang pertama mereka ingat adalah petunjuk berupa bacaan atau tulisan, itu bisa dideskripsikan membaca. Jadi, tidak hanya buku secara fisik, ketika mencari alamat lalu membuka Google Map bisa dikategorikan membaca,” ujar Direktur Lucia Damayanti, Kepala Direktorat Deposit Bahan Pustaka Perpustakaan Nasional RI di acara Jakarta Chief Marketing Officer (CMO) Club ke-61 di Perpustakaan Nasional RI pada Kamis (23/6) 2016.

Hal itu diungkapkan Lucia ketika memaparkan target Perpustakaan Nasional untuk menjadikan Indonesia gemar membaca pada tahun 2019 nanti. Jika gerakan itu dilakukan sebelum era digital sekarang ini, tentu saja tidak sulit untuk mencari parameternya yaitu ketika penduduk Indonesia gemar membaca buku atau sumber lain berupa fisik berisikan tulisan. Sementara, di era ini masyarakat sudah punya pilihan lain berupa bacaan digital di perangkat elektronik seperti mobile.

Gerakan itu memperlihatkan bahwa pemerintah lewat Perpustakaan Nasional masih menganggap minat baca masyarakat rendah walau sekarang penetrasi perangkat elektronik seperti smartphone atau PC sudah sangat tinggi, pun begitu dengan internet.

“Kalau kita lihat secara platform fisik seperti buku, minat membaca rendah itu bisa dilihat karena dari satu orang Indonesia hanya membaca dua buku per tahunnya. Dan, diasumsikan satu buku dibaca oleh 12 orang. Biasanya, ini di perpustakaan. Selain itu, minat rendah juga terlihat di daerah. Penetrasi perangkat elektronik untuk membaca masih tidak sebanyak di perkotaan dan kalau pun punya, biasanya digunakan untuk hal tidak baik. Tidak heran, tingkat pernikahan dini di daerah-daerah cukup tinggi,” sambung Lucia.

Selain itu, masalah kurangnya bahan bacaan khususnya berbentuk fisik seperti buku juga sama rendahnya seperti penetrasi perangkat elektronik. Itu masalah di daerah. Berbeda dengan di kota, di mana masalahnya dengan penetrasi perangkat membaca tinggi plus bacaan sudah menyebar di mana-mana, media sosial jadi penghalang utama untuk membaca.

“Sekarang, orang lebih senang melihat media sosial seperti Instagram atau Twitter dibanding membaca buku online, apalagi fisik,” ujar duta membaca Perpustakaan Nasional RI Najwa Shihab.

Jadi, menurut Lucia, gerakan gemar membaca itu bisa diartikan sebagai kebiasaan masyarakat di mana mereka akan langsung mengingat produk berupa tulisan ketika mencari solusi untuk suatu masalah, seperti halnya membaca Google Map tadi. Tidak hanya terbatas pada platformnya apa, online atau offline tidak masalah. Yang diharapkan adalah masyarakat bisa membaca suatu hal positif dan berguna bagi kehidupannya.

Cara yang kini sedang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah dengan mengedukasi perpustakaan-perpustakaan di sekolah terutama di daerah. Para pustakawan dan guru dibina untuk bagaimana mengelola perpustakaan serta mengajarkan siswa menemukan sumber informasi yang tepat.

Hasilnya, tentu saja belum maksimal karena dengan banyaknya sekolah di daerah-daerah seluruh Indonesia, sulit untuk menjangkau mereka satu persatu dengan sumber daya terbatas.

“Tapi, sedikit demi sedikit perpustakaan sekolah di beberapa daerah mulai menunjukan perubahan. Terutama fasilitas secara fisik,” tutup Lucia.

Editor: Sigit Kurniawan

Related