Apa Instrumen Investasi Terbaik pada Tahun 2019?

marketeers article
52153321 world map with creative drawing charts and graphs business success strategy plan ideas, with man hand working on laptop computer keyboard with blank screen monitor, top view

Defisit neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2018 yang mencapai US$ 1,82 miliar mulai menimbulkan kekhawatiran. Adrian Panggabean, Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk mengatakan, ada dua cara yang harus masuk dalam agenda pemerintah untuk mengatasi defisit itu.

“Yaitu menaikan harga bensin dan melakukan reschedule proyek infrastruktur,” kata Adrian.

Hal itu harus menjadi perhatian pemerintah mengingat Foreign Direct Investment (FDI) terbilang jelek. Padahal, pemerintah telah merencanakan berbagai aksi, seperti pembelian Freeport hingga beberapa blok migas. Artinya, kebutuhan dolar AS juga terbilang tinggi.

Menurut catatan Adrian, keluar masuknya dana panas di bursa saham dan obligasi pun terbilang jelek. “Biasanya, obligasi masih tetap tumbuh di atas rata-rata. Tapi kali ini, Foreign Fund Flow ke obligasi dan saham di bawah rata-rata,” katanya. “Jika tahun 2014 adalah The Best  Year, tahun 2012 dan 2013 adalah The First Bad Year. Kondisi Foreign Fund Flow saat ini mirip dengan tahun tahun 2012 dan 2013,” kata Adrian.

Lantas bagaimana dengan perekonomian AS? Sayangnya, dunia termasuk Indonesia harus menerima proyeksi bahwa Bank Sentral AS akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga hingga empat kali mulai  sekarang hingga akhir 2019 nanti. Dari rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) pada Desember nanti, ada 12 anggota (dari total 16 anggota) yang sepakat untuk menaikkan suku bunga sebesar sekali pada Desember 2018 ini. “Tapi jika kita lihat pada 2019, sepertinya mereka tidak mendapat kata sepakat. Range-nya 2,5%-3,5%. Tapi bisa disimpulkan netral rate AS adalah 3%,” kata Adrian. Sekadar mengingatkan, saat ini suku bunga AS bertengger di angka 2,25%

Bagaimana dengan Indonesia? Seperti kita ketahui Bank Indonesia baru saja menaikkan BI 7-Day Repo Rate menjadi 6%. “Jika melihat relative attractiveness antara aset Indonesia vs dolar, jika AS naik tiga kali, maka Indonesia naik tiga kali,” kata Adrian. Jika hal itu yang terjadi, maka perekonomian Indonesia pada 2019 diprediksi akan melambat. “Saya proyeksi ekonomi Indonesia pada tahun depan hanya tumbuh di angka 4,9%-5%,” katanya.

Jika suku suku bunga acuan naik, maka otomatis hal itu akan memengaruhi yield dari obligasi pemerintah. Padahal selisih yield antara BI-7 Day RR dengan SUN bertenor 10 tahun tidak lebar, hanya sekitar 190 basis poin. “Seharusnya 250-350 bsp. Ditambah peluang kenaikan suku bunga, menjadikan obligasi menjadi instrumen investasi paling menarik pada tahun depan,” katanya.

 

    Related