Apa Yang PR Mesti Lakukan Saat Krisis Datang?

marketeers article
Microphone in focus, blurred camera operators in background

Peranan Public Relations (PR) terkadang baru terasa ketika perusahaan menghadapi krisis. Bukan berarti dalam kondisi normal PR tidak punya peran. Tapi, ketika krisis terjadi bisa dikatakan itu sebagai panggung utama bagi praktisi PR untuk menunjukkan kepiawaiannya.

Hanya saja, sesenior atau sejago apa pun PR, tetap tergantung cara atau sikap yang dipilih perusahaan dalam menghadapi krisis. Apakah perusahaan itu memberi keleluasaan PR untuk bertindak atau sebaliknya memilih menutup diri.

Ketika terkena krisis, perusahaan atau brand tidak boleh menutupi hal itu dari media. Sebab, ketika isu itu terendus media dan perusahaan tidak mau terbuka, maka jurnalis akan mencari informasi dari sumber lain.

“Berita besar tidak akan bisa ditutupi. Lebih baik PR aktif dan memberikan update. Ketika perusahaan tidak proaktif, media bisa mencari narasumber lain yang tidak relevan dan akhirnya simpang siur dan reputasi brand malah semakin hancur,” kata Lawrence Tjandra, Account Support Director – Senior Consultant Inke Maris & Associates.

Hal inilah yang kerap terjadi. Banyak PR dan perusahaan yang lebih memilih memendam agar isu ini tidak terdengar. Meski bisa saja beruntung, kemungkinan isu untuk kembali muncul sangat terbuka.  Karenanya, ketimbang ditutupi, alangkah baiknya jika perusahaan atau merek muncul ke publik dan meminta maaf –jika memang ternyata bersalah-.

Sikap terbuka dan justru aktif memasok informasi ini menjadi pilihan Astra International (AI) ketika menghadapi krisis tahun 1998. Bahkan, berkat strategi PR yang jitu, kinerja saham Astra bisa melesat dalam tempo singkat. Tak hanya itu, Astra pun mendapatkan restrukturisasi utang dari kreditor.

Bagaimana ceritanya? Saat itu, Yulian Warman adalah PR dari PT Astra International Tbk. Hal pertama yang dilakukan ketika terjadi krisis adalah menggali data sebanyak mungkin untuk menentukan bentuk krisis yang terjadi seperti apa. Sehingga, bisa melihat dampak yang muncul, baik ke internal dan eksternal perusahaan.

Sebagai perusahaan besar, AI sudah pasti memiliki Standar Operating Procedure (SOP) ketika menghadapi krisis. Perusahaan ini sudah membuat Business Continuity Plan (BCP). Panduan berkomunikasi, ke internal dan eksternal, ada dalam BCP tersebut.

“Memiliki data selengkap mungkin itu modal awal dalam menghadapi krisis. Setelah itu menentukan langkah apa saja yang diperlukan dan menentukan siapa yang harus dilibatkan dalam menangani krisis, terutama terkait komunikasi,” kata Yulian Warman yang sekarang menjadi Chief Corporate Communication & CSR FIFGROUP.

Ia menambahkan, saat itu ia menyakinkan Presiden Direktur Astra waktu itu, Rini Soemarno, untuk menyampaikan informasi secara terbuka dan transparan ke publik. Terlebih lagi, karena Astra adalah perusahaan yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sebagai tambahan, tahun 1998, utang Astra mencapai US$ 1,17 miliar atau sekitar Rp 17 trilun dengan kurs rupiah saat itu di angka Rp 13.000 per dollar AS. Sekitar US$ 960 juta utang tersebut untuk membangun pabrik komponen kendaraan bermotor.

Selanjutnya, Rini Soemarno pun menemui semua kreditor Astra di luar negeri untuk menjelaskan secara terbuka kondisi perusahaan. Setelah Rini melakukan pertemuan dengan para kreditor, Yulian sudah menyiapkan ‘panitia penyambutan’. Ia mengundang sekitar 10 media dan seorang analisis untuk melakukan wawancara dengan Rini begitu ia tiba di bandara Soekarno-Hatta.

“Singkat kata, dari wawancara itu pemberitaan yang muncul di media adalah bagaimana Astra, sebagai perusahaan telah memberikan informasi secara transparan kepada kreditor. Bicara apa adanya dan menyatakan bertanggung-jawab dengan melakukan banyak aksi-aksi,” tambah Yulian.

Hasilnya? Pada bulan September 1999, saham Astra anjlok hingga Rp 225 per saham. Namun, kurang dari setahun, pada bulan Juni tahun 2000 nilai saham Astra sudah mencapai Rp 4.200 per saham.

Melihat Tujuan Akhir

Agung Laksamana, Ketua Umum BPP Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) memberikan sudut pandang yang sedikit berbeda terkait krisis ini. Menurutnya, sebelum menyikapi krisis yang menimpa sebuah brand atau organisasi, PR harus tahu lebih dulu end goals-nya seperti apa.

Menyikapi sebuah krisis itu sebuah keharusan. Krisis harus dipahami secara komprehensif sebuah persoalan, entah menyangkut sebuah produk, aspek legal, maupun keputusan. Sebab itu, harus ada prioritas mana yang akan menjadi hal yang mau disampaikan terkait denga krisis tersebut.

“Banyak orang membuat strategi bermula dari memahami what are we now lebih dulu. Kita harus tahu kita ada di mana dan kita mau ke mana. Begitu kita mau tahu ke mana, kita akan dengan lebih mudah menentukan strategi mana yang akan kita pakai untuk mencapai tujuan tersebut. Demikian juga dengan menangani sebuah krisis yang menimpa merek. Rumuskan tujuan utama dari penanganan krisis tersebut lebih dahulu,” ujar Agung.

Di sini, Agung menekankan pentingnya mengenali key stakeholders, seperti regulator, customer, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan siapa pun. Di sini, sikap PR sebaiknya tidak reaktif. Sebab, terlalu reaktif justru berpotensi membuat blunder.  “Dalam menangani krisis, PR dituntut kerja cepat. Terkait ini, perusahaan berbeda-beda. Yang jelas immediate menjadi elemen penting,” ujar Agung.

    Related