Apakah Konsumen Indonesia Akan Skeptis pada Konten dan Brand?

marketeers article
Word Cloud with Data Protection related tags

Bulan madu antara orang Indonesia dengan segala sesuatu yang ada di online sepertinya masih berlanjut. Ini bisa dilihat dari penerimaan orang di negara ini yang terus meningkat pada segala output dunia online. Bahkan, menurut dari Kantar TNS yang bertajuk Connected Life 2017 menyebutkan bahwa netizen di Indonesia jauh lebih percaya dalam melakukan kegiatan online dibanding negara-negara lain di wilayah Asia Pasifik.

Artinya, ada sisi positif bagi para marketeer terkait sikap orang Indonesia pada dunia online. Apalagi, konsumen di sini dinilai kurang memiliki sikap skeptis terhadap konten digital yang mereka lihat dan lebih mudah menerima brand secara online. Tentunya, dengan kondisi ini para rand harus terus membangun kepercayaan ini melalui interaksi yang tepat. Jika tidak ingin ada risiko hadirnya keraguan dan ketidakpercayaan konsumen pada dunia online.

“Brand di Indonesia masih menikmati masa jaya dengan konsumen. Meningkatnya konektivitas menghubungkan antara brand dengan kelompok yang baru. Bagi banyak konsumen, interaksi tersebut masih baru dan menarik, dan konsumen dapat menikmati nilai yang diperoleh dari interaksi tersebut,” kata Suresh Subramanian, Managing Director Kantar TNS Indonesia.

Kantar TNS mensurvei 70.000 orang di 56 negara dan melakukan 104 wawancara mendalam sebagai bagian dari riset Connected Life 2017. Riset tersebut mencari tahu mengenai kepercayaan konsumen terhadap brand yang berkaitan dengan empat tema, yakni teknologi, konten, data, dan e-commerce.

Hasil riset menunjukkan bahwa optimisme pada konektivitas masih tinggi di Indonesia. Hanya 22% konsumen Indonesia yang memiliki kepedulian tentang data pribadi mereka yang dimiliki oleh brand. Bandingkan dengan konsumen global yang kepeduliannya mencapai 43%. Konsumen yang paling protektif adalah dari Korea sebanyak 59%.

Riset lain menunjukkan bahwa hanya 15% konsumen Indonesia yang tidak setuju dengan perangkat terhubung yang memantau aktivitas online mereka. Artinya, asal hal itu membuat hidup mereka lebih mudah, konsumen negara ini tidak peduli bahwa aktivas online-nya terpantau. Bandingkan lagi dengan konsumen Korea yang sebanyak 56% danHong Kong sebanyak 54% memilih menolak.

Hal ini bisa jadi karena konsumen Indonesia belum menyadari risiko dari gaya hidup serba terhubung yang membuat konsumen di negara lain menjadi skeptis terhadap cara perusahaan menggunakan data pribadi mereka.

Konsumen Indonesia juga lebih mudah menerima konten online, baik dari media sosial, blog, situs online, dan lainnya.  Sekitar 61% konsumen Indonesia dengan senang hati mempercayai informasi yang mereka peroleh. Sedangkan secara global, hanya satu dari tiga orang di dunia menganggap konten yang mereka lihat dapat dipercaya.

Sikap ini menunjukkan bagaimana persepsi konsumen Indonesia terhadap brand. Sekitar 47% atau hampir separuh responden negara ini mempercayai brand besar global. Secara umum ini juga terjadi di negara-negara berkembang di Asia. Misalnya, Vietnam dan Myanmar yang tingkat kepercayaannya konsumen pada brand global mencapai 54%.  Sebaliknya, di negara-negara Asia yang lebih maju, seperti Hong Kong dan Korea Selatan hanya 30% dan 31% yang percaya brand besar global.

“Namun, ini harus seimbang. Jelas bahwa brand telah melampaui batas di negara lain melalui iklan yang berlebihan dan konten yang tidak relevan. Sangat penting bagi brand di Indonesia untuk tidak menyalahgunakan kepercayaan konsumen, dan fokus untuk menjadikan setiap interaksi berharga dan menguntungkan bagi konsumen,” terang Suresh.

Michael Nicholas, Global Lead Connected Solutions, Kantar TNS, menambahkan bahwa kepercayaan itu rapuh. Saat ini, brand di negara-negara berkembang memiliki tingkat kepercayaan konsumen yang lebih tinggi daripada di negara maju, tetapi brand tidak boleh menyepelekannya. Untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan, brand harus memprioritaskan konsumen.

“Itu berarti mengerti keinginan mereka, memahami momen yang tepat untuk berinteraksi dengan mereka, menghargai waktu mereka yang berharga, serta bersikap lebih transparan tentang bagaimana dan kapan brand menggunakan data pribadi mereka. Yang paling penting adalah memprioritaskan konsumen – sesuatu yang sering dilupakan oleh para pemasar,” pungkas Nicholas.

Bila mengacu pada hasil riset tersebut, secara kasar bisa disimpulkan bahwa semakin maju serta sejahtera masyarakat akan makin peduli pada penggunaan data pribadi. Dan, lebih berhati-hati untuk menerima konten-konten online, baik itu dari brand besar sekalipun. Apakah ini akan terjadi di Indonesia setelah menjadi negara maju?

    Related