Apple, Facebook, sampai Google Kecam Kebijakan Imigrasi Trump

marketeers article
57781156 san diego, usa may 27, 2016: a protester holds a sign featuring an angry photo of donald trump and reading “bad for america” at an anti-trump protest outside a trump rally in san diego.

Beberapa hari lalu Presiden AS Donald Trump benar-benar menjalankan janji kampanye untuk “memproteksi” negaranya. Selain direncanakan untuk segera membangun dinding pembatas antara AS dan Meksiko, Trump mengeluarkan kebijakan melarang warga dari tujuh negara yaitu Iran, Iraq, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman untuk masuk ke AS. Kebijakan imigrasi atau immigration ban tersebut sontak langsung dikecam banyak pihak.

Selain dari penduduk AS sendiri, para petinggi perusahaan-perusahaan teknologi juga ramai-ramai mengecam immigration ban. Mulai dari petinggi Apple, Google, sampai Facebook menyampaikan rasa kegelisahannya. Wajar saja karena bisnis mereka tidak hanya bergantung pada pasar AS semata tapi juga seluruh dunia. Termasuk sumber daya manusia, yang mana pegawai para raksasa teknologi tersebut datang dari berbagai negara termasuk negara yang terkena immigration ban.

CEO Apple Tim Cook langsung mengeluarkan pernyataan kepada para pegawainya dan dengan tegas menolak kebijakan Trump. Menurutnya, imigrasi adalah elemen penting masa depan Apple. “Apple tidak akan eksis tanpa imigrasi. Tanpa imigrasi tidak akan ada kemajuan dan inovasi. Jadi kebijakan imigrasi ini bukanlah kebijakan yang kita dukung,” ujar Cook seperti dilansir dari Wall Street Journal.

Beberapa karyawan Apple dikabarkan terkena dampak immigration ban. Cook berjanji akan mengerahkan tim HRD, legal, sampai keamanannya untuk memastikan para karyawan tersebut baik-baik saja. Lebih lanjut, justru perbedaanlah yang membuat tim Apple bisa kuat seperti sekarang. Cook di akhir suratnya menyertakan kalimat terkenal dari Martin Luther King, “Kita mungkin datang dari kapal berbeda, tapi sekarang kita dalam satu perahu yang sama.”

Sementara CEO Google Sundar Pichai dalam memonya kepada karyawan jelas-jelas mengkritik kebijakan Trump. Kebijakan tersebut akan menahan sekitar 187 pegawai Google kelahiran non-AS untuk masuk ke AS sementara pegawai-pegawai lainnya yang sedang melakukan perjalanan ke luar negeri segera ditarik kembali ke AS.

“Kami marah karena dampak kebijakan yang bisa merugikan para pegawai Google dan keluarganya. Artinya, ini semua bisa mengakibatkan tertahannya talenta-talenta berbakat untuk masuk ke AS,” sambung pria berdarah India tersebut.

Bagi Mark Zuckerberg sang pendiri Facebook menyatakan khawatir terhadap masa depan keluarganya, mengingat istrinya Priscilla bukan asli keturunan AS. Bahkan kedua orang tua Priscilla adalah pengungsi asal Tiongkok dan Vietnam sementara pendahulu dari Zuckerberg datang ke AS dari Jerman, Austria, dan Polandia.

“Kita perlu membuat negara aman namun fokus perlu diarahkan kepada mereka yang benar-benar mengancam keamanan negara ini. Mengarahkan hukum ke arah orang-orang yang sebenarnya tidak merupakan ancaman justru akan membuat masyarakat Amerika tidak aman. Jutaan warga tidak bersalah akan dideportasi. Kita harus buka pintu kepada pengungsi. Jika kita dari dulu menutup pintu kepada pengungsu, keluarga Priscilla tidak akan ada di sini hari ini,” ungkap Zuckerberg di postingan Facebook-nya.

Kepentingan Bisnis Keluarga Trump

Dalam artikel di portal NPR.org, kebijakan Trump untuk melarang penduduk tujuh negara mayoritas Muslim tidak masuk akal dan terlihat condong pada kepentingan bisnis pribadi dan keluarga. Bisnis properti Trump sendiri tidak di Amerika Serikat semata, tapi melanglangbuana di berbagai negara.

Kesamaan dari tujuh negara tersebut adalah satu, tidak ada seorang pun yang dicap teroris oleh AS datang dari negara-negara tersebut selama dua dekade terakhir. Sekitar 19 teroris pada aksi 11 September juga tidak ada yang berasal dari tujuh negara itu. Padahal, negara dengan mayoritas Muslim tidak hanya tujuh negara itu saja.

Namun, jika ditarik soal bisnis, Trump dan kolega-koleganya tercatat memiliki bisnis di Turki dan Azerbaijan. Ia juga sedang membangun bisnis di Dubai termasuk telah memiliki perusahaan di Mesir dan Arab Saudi. Kesamaannya, negara-negara tersebut juga mayoritas berpenduduk Muslim seperti halnya tujuh negara yang terkena sangsi.

Anak perempuan Trump bahkan dikabarkan sejak 2015 lalu sedang melihat prospek bisnis di Dubai, Abu Dhabi, Qatar, sampai Arab Saudi. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Trump dikabarkan sedang membangun bisnis properti dengan salah satu pengusaha lokal.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

    Related