APPRI: Indonesia Harus Segera Bentuk Dewan Kehumasan

marketeers article
vector public relations concept,template

Peran dari profesi hubungan masyarakat atau public relations (PR) semakin penting di era teknologi informasi saat ini. Mengingat, di era ini semua orang bisa membuat konten informasi. Bila itu konten positif tentunya tidak masalah, tapi lain halnya bila konten itu bernada sebaliknya, seperti hoax.

Sekarang ini, hampir semua lembaga, baik itu, pemerintahan, bisnis dan nirlaba, memiliki divisi kehumasan.  Hal ini sudah barang tentu menuntut adanya ketersedian sumber daya di bidang ini. Di sisi lain, adanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memungkinkan aliran pekerja PR dari luar masuk ke negara ini.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Suharjo Nugroho, sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga independen yang bertugas membina pertumbuhan dan perkembangan kehumasan nasional. Hal ini ia sampaikan saat Konvensi Humas Nasional (KNH) Perhumas di Bogor, pekan lalu. Dengan keberadaan lembaga ini, lanjunya, diharapkan dunia kehumasan di Tanah Air akan semakin maju dan membantu mengatasi beberapa permasalahan komunikasi masyarakat, seperti hoax dan dampak teknologi komunikasi lainnya.

“Kalau wartawan punya Dewan Pers, profesi humas yang saat ini sedang berkembang juga butuh Dewan Kehumasan yang menjadi payung dari semua wakil-wakil organisasi humas dan ahli-ahli dalam bidang kehumasan,” kata Suharjo dalam siaran persnya.

Ia menambahkan, dewan kehumasan ini, misalnya bisa mengeluarkan Kode Etik Profesi Kehumasan agar para praktisi humas yang terjun membela kandidat politik tertentu memiliki etika profesi yang membatasi sepak terjangnya agar tidak kebablasan.

Saat ini, kode etik untuk kehumasan hanya terdapat di dalam masing-masing organisasi kehumasan dan hanya mengikat kepada anggotanya saja. Lebih lanjut dia menegaskan, diperlukan sebuah kode etik profesi yang mengikat semua praktisi humas secara nasional tanpa terkecuali agar praktisi humas tidak menjadi spin doctor atau tukang pelintir isu yang bisa berpotensi menciptakan fake news atau hoax.

“Semua praktisi humas perlu dibatasi dengan kode etik profesi seperti layaknya profesi yang lain. Wartawan punya Kode Etik Jurnalistik, konsultan iklan ada Kode Etik Periklanan, nah Humas harus punya Kode Etik Kehumasan. Sekarang yang kita punya hanya kode etik dalam organisasi humas. Nah, tidak semua tergabung di organisasi,  siapa yang mengikat etikanya?” tegasnya.

Apalagi, mulai tahun depan sudah mulai panas pilkada, praktisi atau konsultan humas ada yang bela satu pihak, yang lain bela pihak lawan. “Hal ini perlu etika profesi yang membatasi atau kita akan saling perang informasi dengan segala jurus tanpa ada batasan,” pungkas Suharjo yang merupakan Ketua umum APPRI periode 2017-2020.

    Related