APRINDO: Ritel Tutup Bukan Berarti Mati

marketeers article

Kondisi ritel Indonesia tengah dihadapkan pada situasi mengejutkan pada tahun 2017. Sejumlah ritel kecil dan menengah memutuskan untuk menutup ritel mereka. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Mande melaporkan, ada sekitar 20 ritel besar dan hampir 30 tenant di mal yang menutup toko mereka tahun lalu. Namun, Roy mengatakan penutupan ini bukan berarti kematian bagi industri ritel, melainkan relokasi dari perubahan bisnis model yang terjadi.

Penurunan performa ritel di Indonesia telah terlihat sejak tahun 2015 menuju 2016. Berdasarkan pantauan APRINDO, kondisi ritel pada tahun 2015 berada di kisaran 11%, dan mengalami penurunan pertumbuhan menjadi 9% pada tahun 2016. Roy mengatakan, APRINDO memprediksi pertumbuhan ritel pada tahun 2017 akan berada di kisaran 7%-7.5%.

Kondisi ini diamati Roy sebagai akibat dari perubahan perilaku masyarakat. Pertumbuhan kelas menengah telah mendorong perilaku konsumsi yang tidak sekadar berbelanja, melainkan mengharapkan leasure dalam berbelanja. Dampaknya, sejumlah ritel sekelas LOTUS yang digawangi PT Mitra Adiperkasa (MAP) pun harus ditutup.

Berdasarkan preview APRINDO, selain LOTUS terdapat sejumlah ritel yang ditutup pada tahun 2017, seperti 7-Eleven, Hypermarket, Matahari, dan lain-lain.

“Ditutup bukan berarti industri ritel mati. Ini adalah dampak dari transformasi ritel atas dampak perkembangan Internet of Things (IOT) yang sangat challenging. Yang jelas, ritel tutup bukan berarti industri ritel mati, melainkan direlokasi karena perubahan bisnis model,” kata Roy di Jakarta, Rabu (24/01/2018).

Ekspansi dan Relokasi

Ekspansi dan relokasi merupakan bagian utama yang dilakukan peritel Indonesia saat ini. Roy menjelaskan, penutupan ritel ini merupakan bentuk relokasi atas inovasi bisnis yang terjadi.

“Penutupan ritel terjadi karena ritel yang kurang perform. Para peritel memutuskan menutup toko untuk melakukan relokasi karena mereka melihat ada potensi besar di daerah lain, misalnya di wilayah Indonesia Timur,” tutur Roy.

Wilayah Indonesia Timur dikatakan Roy memang tengah menjadi target menarik bagi para peritel. Pasalnya, peritel melihat pertumbuhan ekonomi kelas menengah terlihat cukup berkembang di wilayah ini.

“Wilayah seperti Kupang yang tengah berkembang ke arah ritel modern tentu terlihat potensial, berbeda dengan daerah Jawa yang kini mulai jenuh. Masyarakat di kelas menengah memiliki kecenderungan memandang belanja sebagai hal yang membanggakan. So, they become a new market for modern retail,” jelas Roy.

Di sisi lain, bentuk relokasi ini sekaligus menjadi jalan bagi peritel untuk melakukan ekspansi. “Tidak hanya relokasi, yang jelas mereka akan melakukan ekspansi karena mereka perlu growth bagi bisnis mereka,” ungkap Roy.

Lebih dari itu, Director PT MAP Ecom Adiperkasa Ravi Kumar mengatakan industri ritel tidak akan mati karena konsumen cenderung menginginkan omnichannel sebagai bentuk integrasi online dan offline saat berbelanja.

“Karena kita tidak bisa lagi memisahkan antara offline dan online. Sebagian konsumen saat ini mungkin memilih untuk melihat barang secara langsung di toko offline, namun membeli melalui online. Sementara, sebagian lain mungkin melihat produk tersebut dari online lalu berbelanja secara offline. Untuk itu, ritel membutuhkan omnichannel,” kata Ravi.

Pada tahun ini, APRINDO berharap sederet agenda yang akan diadakan di Indonesia akan berdampak pada pemulihan kondisi ritel di Indonesia.

Editor: Sigit Kurniawan

Related