ASEAN Butuh China atau China Butuh ASEAN?

marketeers article

Pesatuan Negara-Negara Asia Tenggara atau ASEAN semakin meningkatkan eksistensinya sebagai poros ekonomi dunia. Dengan sekira 6,2% PDB dunia ada di kawasan ini, ASEAN dituntut untuk mempercepat integrasi demi menjadi kekuatan ekonomi baru.

Kendati demikian, ASEAN masih tidak bisa lepas dari China yang tumbuh sebagai kekuatan dunia kedua setelah Amerika Serikat. China kian agresif mencari mitra internasional setelah melakukan protektisme di dalam pasar sendiri.

ASEAN dipilih karena selain punya captive market yang besar (sekitar 630 juta penduduk dunia bermukim di ASEAN), juga negara-negara di kawasan ini tidak menelurkan kebijakan politik khusus yang melemahkan ambisi China.

Berdasarkan sejarah, China mulai menjalin kemitraan bilateral dengan ASEAN pada tahun 1991, saat diundang sebagai tamu dalam KTT ASEAN di Kuala Lumpur. Hubungan China-ASEAN akhirnya berkembang cepat dari sebatas agenda politik luar negeri menjadi bermuatan ekonomi.

China adalah kekuatan besar pertama yang mengakui sentralitas ASEAN, yang menuntut China masuk sebagai pihak di luar ASEAN yang meratifikasi The Treaty of Amity and Cooperation atau Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama dalam lingkup Asia Tenggara pada tahun 2003.

Perjanjian ini menekankan bahwa “Tidak akan ada penggunaan ancaman atau kekerasan dalam menyelesaikan masalah antar negara dan negara.”

Lalu, pada tahun 2010, inisiatif ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dibangun, menandakan bahwa China dan Asia Tenggara siap memberikan preferential treatment di tiga sektor: barang, jasa dan investasi dengan tujuan memacu terbentuknya satu kawasan perdagangan bebas.

“Perjanjian ini adalah perjanjian terbesar di dunia, antara negara besar dengan negara berkembang,” kata H.E Jiang Qin, Chargé d’Affaires to Chinese mission to ASEAN Minister Counsellor saat membuka panel China Session dalam acara The 3rd ASEAN Marketing Summit di Raffles Hotel Jakarta. Kamis, (7/0/2017).

Volume perdagangan China ke ASEAN, menurut catatan Jiang Qin, mencapai US$ 552 miliar pada tahun 2016, atau meningkat 56 kali lipat dari kerja sama perdana pada tahun 1991. Jumlah itu menjadikan hubungan perdagangan China-ASEAN sebagai yang terbesar ketiga di dunia.

“Begitu pun dengan total investasi langsung perusahaan China ke ASEAN yang nilainya sepanjang Januari-Juni 2017 mencapai US$ 696,2 miliar” paparnya lagi.

Meski hubungan China dengan ASEAN sudah berjalan sejak 26 tahun lalu, akan tetapi investasi Negeri Tirai Bambu itu masih belum merata. Pasalnya, sampai saat ini, investasi China lebih dominan di Singapura, ketimbang negara kawasan lain.

Sejak tahun 2006, Singapura menguasai lebih dari 50% investasi China di ASEAN. Pada tahun 2015 saja, China menginvestasikan sekitar US$ 10,5 miliar di Singapura, atau 71% dari total investasi sebesar US$ 14,6 miliar di ASEAN. Sektor keuangan maupun sektor ritelnya yang memuaskan membuat aliran China ke Negeri Singa itu terus meningkat.

Jalur Sutra

China membutuhkan ASEAN tidak hanya pada urusan dagang, melainkan juga untuk meraih dukungan politik ASEAN terhadap kebijakan luar negeri China. Selain menyangkut sengketa Laut China Selatan yang menyeret Filipina, China, dan Jepang, juga menyangkut proyek jalur sutra One Belt, One Road yang digagas Pemerintah China mulai tahun 2013.

Salah satu proyek jalur sutra itu adalah pembangunan rel kereta logistik sepanjang 12.000 kilometer dari Kota Yiwu, China, menuju London, Inggris. Rute pengiriman barang dari China ke Eropa melalui kereta dinilai lebih efektif dari segi biaya dan waktu ketimbang melalui armada laut atau udara.

Tak hanya jalur darat, proyek ini juga mendesain jalur maritim yang akan melewati tiga negara ASEAN, antara lain Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Dari ASEAN, jalur ini akan mengantarkan China menuju India, Afrika Timur, Afrika Utara dan berlanjut ke Italia.

One Belt, One Road adalah inisiatif Presiden China Xi JinPing yang bertujuan menghapus hambatan dagang guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi,” kata dia.

Jiang Qin mengungkapkan, proyek senilai lebih dari ratusan triliun dollar AS itu akan membantu percepatan ekonomi dan infrastruktur negara berkembang yang dilalui jalur tersebut, termasuk Indonesia.

“Ini juga membuka peluang-peluang perdagangan baru karena rantai pasok perdagangan menjadi tertata. Proyek ini juga mempromosikan ekonomi lokal dan UKM daerah agar bisa mendunia,” tutur dia.

Related