Beban Penyakit Kanker Bisa Gerogoti Ekonomi Negara

marketeers article

Kanker menjadi salah satu jenis penyakit yang patut mendapat sorotan besar di Indonesia. Data Globacan 2018 menemukan, ada 348.809 penderita Kanker baru dengan 207.000 kematian akibat Kanker dalam satu tahun di Indonesia. Tanpa penanganan yang tepat, beban penyakit Kanker diprediksi bisa menggerogoti keuangan negara.

Mitos lama yang menilai Kanker sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan dipatahkan Dokter Ronald A. Hukom. Bekaca dari Amerika dan Eropa dalam 40 tahun terakhir, angka kesembuhan pada banyak jenis Kanker dapat meningkat tajam.

“Di Inggris, Kanker payudara saat ini memiliki tingkat kesintasan 10 tahun sekitar 80% sejak diagnosis ditegakkan. Untuk Kanker prostat, yang merupakan Kanker utama pada pria, sekitar 84% penderita masih hidup sesudah 10 tahun dinyatakan sakit (dibanding hanya 25% pada tahun 1970-71). Ada kelompok pasien leukemia kronik yang sejak diagnosis ditegakkan, masih lebih dari 90% bertahan hidup dalam 10 tahun,” papar Ronald di Jakarta, Senin (15/07/2019).

Fakta tersebut diartikan Ronald bisa menjadi cerminan pemerintah untuk memperbaiki fasilitas kesehatan bagi penderita Kanker di Indonesia. Pasalnya, beban penyakit Kanker yang tinggi tak dipungkiri akan berdampak pada ekonomi negara.

Sebuah studi menyebutkan, setiap tahun Indonesia mengalami kerugian US$48 miliar karena pasien yang berobat keluar negeri. “Mungkin hanya diperlukan dana 3%-5% dari yang dibawa pasien ke luar negeri dalam 5-10 tahun terakhir untuk membangun beberapa pusat Kanker modern dengan fasilitas diagnostik dan terapi lengkap di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tidak perlu semua pasien Kanker dirujuk ke Jakarta,” kata Ronald.

Senada dengan Ronald, Ketua Umum CISC Aryanthi Baramuli Putri mengatakan, Kanker adalah penyakit katastropik dengan biaya pengobatan yang tidak murah. Peran negara diperlukan agar pasien Kanker dapat memperoleh pengobatan yang berkualitas.

“Biaya pengobatan Kanker tidak murah, rakyat pada umumnya tidak akan mampu jika membayar sendiri. Anggapan menambah hidup beberapa bulan tidaklah ‘bermakna’ sangatlah tidak manusiawi dan menghalangi hak hidup pasien. Dua atau tiga bulan sekali pun adalah waktu yang sangat berharga dan itu adalah hak hidup, sehingga kualitas hidup harus dijaga. Penatalaksanaan Kanker yang terus berkembang harus disertai upaya terencana oleh Pemerintah agar bisa diakses oleh pasien,” ujar Aryanthi.

Lebih dari itu, sistem audit pemakaian obat Kanker (bukan Audit Medik) pun diperlukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi penderita Kanker. Menilik lima tahun pelaksanaan program JKN (2014-2019), belum ada audit khusus mengenai pemakaian obat Kanker yang meneliti apakah rumah sakit dan BPJS Kesehatan di semua daerah telah mengikuti restriksi yang ditentukan dalam Formularium Nasional.

Audit pemakaian obat Kanker secara berkala akan membantu menyelamatkan miliaran rupiah dana JKN, dan penderita Kanker yang memang membutuhkan obat ‘mahal’ tertentu untuk hasil terapi yang lebih baik, tidak dirugikan karena obat yang diperlukan tidak dijamin oleh BPJS,” pungkas Ronald.

Editor: Sigit Kurniawan

Related