Belajar Service Excellence dari Singapore Airlines

marketeers article

Selama empat dasawarsa terakhir, Singapore Airlines (SIA) menyandang banyak penghargaan terkait layanannya yang berkualitas. Penghargaan Best Airline dari Condé Nast Traveler disabet SIA sebanyak 21 dari 22 kali. SIA juga menerima penghargaan Skytrax Airline of the Year sebanyak tiga kali selama satu dekade belakangan. Namun, ada hal lebih menarik yang perlu diketahui dari maskapai asal Negeri Singa itu.

Terlepas dari kualitas layanannya, SIA merupakan salah satu pemain dengan cost paling efisien di industri penerbangan. Dari tahun 2001 hingga 2009, available seat kilometer (ASK) atau biaya per tempat duduk yang tersedia di maskapai ini adalah sebesar 4,58 sen. Bandingkan dengan biaya ASK maskapai Eropa yang sebesar 8-16 sen, maskapai Amerika Serikat 7-8 sen, dan maskapai Asia 5-7 sen.

Laporan yang dirilis oleh Air Transport Association tahun 2007 itu turut menyebut bahwa SIA memiliki biaya ASK lebih rendah ketimbang kebanyakan operator maskapai bujet asal Eropa dan Amerika, yang masing-masing berkisar antara 4-8 sen dan 5-6 sen.

Menarik bahwa SIA menggabungkan strategi diferensiasi -yang dijalankan melalui keunggulan layanan dan inovasi berkelanjutan- dengan cost leadership. Beberapa perusahaan telah menjalankan strategi ganda ini dengan cukup menguntungkan.

Meskipun demikian, pakar marketing seperti Michael Porter tidak yakin bahwa perusahaan dapat melakukan keduanya untuk periode yang lama. Sebab, strategi ganda memerlukan investasi dan proses organisasi yang dinilai kontradiktif.

Akan tetapi, strategi ganda alias ‘premium, namun tetap hemat’ mau tidak mau menjadi keharusan. Permintaan produk dan layanan bersifat value-for-money telah meningkat sejak resesi ekonomi baru-baru ini, terutama di negara maju. Sehingga, produk-produk premium mesti mencari cara untuk meraih peluang di tengah pasar yang lesu.

Selain itu, perusahaan multinasional menghadapi persaingan dari kompetitor yang sebagian besar berasal dari pasar negara berkembang. Mereka menggunakan teknologi dan model bisnis baru untuk memberikan penawaran yang cukup menarik dengan harga terjangkau.

Pemain lama bisa saja melawannya degan memberikan potongan harga untuk memperoleh atensi konsumen, namun sering kali strategi ini tak bertahan lama. Perang harga biasanya malah mencederai para pemimpin pasar ketimbang kompetitor. Karenanya, mengadopsi strategi ganda seringkali merupakan satu-satunya opsi.

Jochen Wirtz, Associate Professor of Marketing & Director APEX-MBA Program NUS Business School, Singapura mengatakan, strategi ganda dijalankan secara lebih luwes di negara-negara Asia ketimbang Barat. Banyak eksekutif Barat percaya bahwa cost leadership itu sesuatu yang sulit diutak-atik, apalagi perusahaan tersebut sudah mengglobal.

Tapi SIA dan perusahaan lain seperti Haier, Samsung, dan Toyota beroperasi seolah dualitas tidak bersifat berlawanan, melainkan saling melengkapi. Cara berpikir ini tertanam dalam pemikiran Timur melalui konsep yin & yang dalam Filsafat Tao.

Bisa dibilang, tidak ada perusahaan yang menjalankan strategi ganda lebih baik ketimbang SIA. Maskapai ini selalu merilis laporan keuangan yang sehat sejak didirikan pada tahun 1972, yang mana SIA tidak pernah sekalipun mencatat kerugian tahunan.

Terlebih, SIA hampir tidak memiliki utang, kecuali saat awal perusahaan ini berdiri. SIA telah mendanai pertumbuhan perusahaan lewat laba yang mereka petik, dan secara konsisten membayar dividen kepada pemegang saham.

“SIA menjalankan strategi ganda dengan mengelola empat hal: menerapkan service excellence dengan biaya efektif; berinovasi secara terpusat dan terdesentralisasi, menjadi pemimpin sekaligus pengikut teknologi; dan menerapkan standarisasi serta personalisasi dalam proses bisnisnya,” ujar Jochen saat menjadi pembicara tamu di The 3rd ASEAN Marketing Summit, di Hotel Raffles Jakarta, Kamis, (7/9/2017).

Mencapai Service Excellence ala SIA

Jochen mengungkapkan, SIA pada dasarnya memiliki dua aset utama; yaitu planes (pesawat terbang) dan people (orang-orang yang bekerja di dalamnya). SIA mengelola kedua aset tersebut sedemikian rupa sehingga layanannya lebih baik ketimbang pesaing, sekaligus biaya operasional menjadi lebih rendah.

Tidak seperti perusahaan penerbangan lainnya, SIA memastikan armada pesawat yang ia miliki harus dalam usia yang muda. Pada tahun 2009, pesawat terbang SIA rerata berusia 74 bulan, atau kurang dari separuh rata-rata usia pesawat terbang di industri penerbangan yang berkisar 160 bulan.

Dengan begitu, SIA dapat memastikan kelancaran penerbangan seperti pesawat datang tepat waktu, sedikit delay, dan kerusakan mekanis jarang terjadi.

“Tentu saja, pesawat baru lebih hemat bahan bakar. Di saat yang sama juga tidak membutuhkan biaya perbaikan dan perawatan yang mahal,” tutur Jochen.

Pada tahun 2008, perbaikan pesawat SIA hanya menyumbang 4% dari total biaya maskapai dibandingkan dengan 5,9% untuk United Air Lines dan 4,8% untuk American Airlines. Pesawat SIA menghabiskan lebih sedikit waktu di hanggar, yang berarti mereka lebih banyak mengudara di angkasa.

“Rata-rata pesawat SIA terbang selama 13 jam sehari, di atas rata-rata industri yang sebanyak 11,3 jam,” ujar Jochen.

Lebih lanjut, pria asal Jerman ini menuturkan bahwa SIA adalah maskapai yang paling banyak berinvestasi pada sumber daya manusia. SIA merekrut tenaga kerja baru setiap empat bulan, dua kali lebih lama dari rerata industri selama delapan minggu. Total biaya yang dihabiskan SIA mencapai US$ 70 juta per tahun untuk menempatkan setidaknya 14.500 karyawan melalui pelatihan sebanyak 110 jam terbang setiap tahunnya.

Pelatihan yang diajarkan mencakup kursus tentang etika, cara mengapresiasi pelanggan, dan kepekaan budaya. Kru kabin SIA dilatih untuk berinteraksi dengan penumpang dari negara manapun dengan berbagai cara.

“Trainee belajar cara berinteraksi secara wajar, misalnya dengan berkomunikasi secara eye-level, ketimbang ‘menunduk’ di depan penumpang,” pungkasnya.

Program pelatihan SIA juga berfokus pada cara menjaga agar biaya tetap rendah, namun servis yang diberikan harus semakin baik. Para mentor -yang merupakan alumni kabin kru- selalu menekankan prinsip kepada karyawan baru bahwa “SIA harus semakin efisen dan kompetitif setiap tahunnya”.

Para mentor tanpa ragu menekankan dua visi perusahaan, yaitu menyediakan layanan transportasi udara dengan kualitas terbaik, sekaligus memaksimalkan keuntungan untuk pemegang saham dan para karyawannya.

Oleh sebab itu, SIA sangat konsen terhadap biaya servis operasionalnya sehari-hari. SIA mengurangi investasi yang tak perlu, tanpa mengorbankan layanan pelanggan. SIA membuang biaya-biaya yang sebenarnya tidak diperhatikan dan dilihat oleh pelanggan.

“Sebaliknya, investasi SIA adalah pada hal-hal yang dilihat dan dirasakan langsung oleh pelanggan, seperti layar monitor,” kata Jochen.

Lebih dari itu, ketika awak kabin menyadari bahwa sepertiga penumpang tidak makan malam saat penerbangan akhir, SIA akan memesan sedikit makanan. Sehingga tidak banyak makanan yang terbuang.

Tidak seperti perusahaan penerbangan lainnya, SIA hanya menawarkan dua merek sampanye di kelas wahid, antara lain Krug Grande Cuvée dan Dom Pérignon, dengan total biaya US$ 8 juta setiap tahun. Kru kabin meminimalkan biaya dengan cara menuangkan botol apa saja, kecuali jika ada seorang penumpang yang khusus meminta merek lain.

Biaya sekecil apapun menjadi perhatian SIA. Maskapai ini bahkan memutuskan untuk tidak menaruh selai di setiap nampan sarapan, sebab ia melihat banyak orang tidak mengonsumsinya.

“Bahkan skema bonus SIA ke semua karyawan hanya dibagikan ke mereka (karyawan) yang membantu perusahaan meminimalisir pengeluaran. SIA berani memberi bonus karyawan hingga 50% dari gaji mereka,” terang penulis buku berjudul Winning in Service Market ini.

Rekrut Talent Terbaik

SIA merekrut lulusan universitas nomor satu, yang bermental kerja keras dan ambisius. Mereka adalah orang-orang yang mau menerima tantangan dan tanggung jawab di usia yang relaif muda. Perusahaan maskapai lain biasanya tanpa pikir panjang mempekerjakan karyawan SIA setelah mereka keluar dari perusahaan.

Padahal, SIA hanya menawarkan gaji standar yang diterima oleh warga Singapura alias cukup rendah jika dilihat dari standar global. Tak heran, biaya tenaga kerja pada tahun 2008 hanya 16,6% dari total biaya perusahaan. Bandingkan dengan American Airlines yang mencapai 30,8%, British Airways 27,5%, Lufthansa 24,4%, dan United Air Lines 22,5%.

Menurut sebuah studi pada tahun 2002, karyawan SIA adalah yang kedua setelah Korea Airlines yang paling produktif di antara perusahaan penerbangan dunia. Barometernya diukur berdasakan available ton kilometer/ATK (kapasitas muatan yang tersedia) untuk US$ 1000 per biaya tenaga kerja.

“Apa pun yang menyentuh pelanggan harus konsisten dengan posisi premium. Sementara itu, segala sesuatu di balik layar adalah area yang bisa dikendalikan perusahaan,” ujar Jochen yang bekerja untuk melatih para kabin kru maskapai ini selama 25 tahun.

Misalnya, perusahaan memilih bermitra dengan penyedia sistem  payroll asal India yang berbiaya rendah. Begitupun dengan kantor pusat perusahaan yang berada di atas sebuah hanggar tua di Bandara Changi, bukan di gedung pencakar langit di tengah kota.

“Terlebih lagi, Anda tidak akan menemukan mesin espresso, karpet mewah, perabotan yang dibuat para desainer, alat kebugaran, atau kolam renang di kantornya,” tegas Jochen.

https://www.youtube.com/watch?v=ADEPgsgL_AY

Untuk program pelatihannya saja, jangan pikir para karyawan akan dikirim ke resor mewah yang menghadap pantai berpasir putih. SIA justru menggunakan fasilitasnya sendiri. Mungkin, yang cukup tragis, peserta training membeli makan siang mereka sendiri di kantin perusahaan.

Tidak jarang, perusahaan melakukan negosiasi dengan para manajer hotel untuk memperoleh harga kamar yang lebih murah untuk para awak kabin. Akibat dari semua ini, biaya lain-lain perusahaan (biaya total dikurangi bahan bakar, tenaga kerja, penyusutan, dan penyewaan pesawat terbang) hanya mencapai 29,1%, lebih rendah dari rata-rata maskapai besar lainnya yang biasanya mencapai 38,2%.

“SIA adalah bukti bahwa perusahaan yang memberikan layanan berkualitas, bisa meminimalisir biaya, bahkan membuatnya sungguh-sunguh minimal,” kata Jochen.

Related