Bermodal Rp 5 Juta, Kini Port Blue Shoes Beromzet Ratusan Juta

marketeers article

Hanya dalam jangka waktu kurang dari dua tahun, Jangkar Bawono berhasil membangun merek sepatu kulit khusus pria dengan nama Port Blue Shoes. Meskipun usahanya masih terhitung belia, brand yang ia bangun sejak 2015 ini berhasil mencuri perhatian kalangan pria, terutama yang menyukai produk sepatu kulit.

Semua kisahnya bermula dari lingkungan di mana dia tinggal, Surabaya. Kala itu, Jangkar yang masih duduk sebagai mahasiswa ilmu komunikasi di sebuah perguruan tinggi, melihat bahwa tidak jauh dari tempat tinggalnya di wilayah Rungkut, Surabaya, terdapat sebuah sentra pengrajin sepatu kulit. Ia melihat bahwa para pengrajin ini bisa menjadi mitra yang sama-sama menguntungkan. Akhirnya Jangkar mencoba peruntungan dengan menciptakan sebuah sepatu kulit.

Awalnya, ia hanya menjual kepada teman-teman terdekatnya saja. Banyak temannya yang tertarik dengan konsep dan desain sepatu yang ia ciptakan, hingga pada tahun 2015 setelah lulus bangku kuliah, ia mantap memproduksi Port Blue Shoes untuk pasar yang lebih luas.

“Selain ingin membantu para pengrajin kulit, saya juga memiliki passion juga dengan sepatu. Namun sejak awal, saya tidak suka pakai jenis sepatu sneakers. Saya lebih suka pakai sepatu kulit. Makanya saya makin mantap untuk membangun brand ini,” jelas Jangkar.

Bermodalkan Rp 5 juta, Jangkar memulai produksi Port Blue Shoes. Berbagai macam desain dan kreasi ia coba visualkan dalam sebuah produk. Bersama para pengrajin, ia mengutak-atik setiap produk yang akan diluncurkan. Perjalanannya memang tidak semulus yang diinginkan. Beberapa produk jadi namun tidak sesuai dengan keinginannya. Mau tidak mau, produk tersebut disingkirkan dan dimulai kembali dari awal.

Modal yang terbatas juga membuat Jangkar harus ketat dalam pengelolaannya. Ia harus pintar-pintar mengalokasikan dana yang tersedia agar tidak jatuh ke pos yang tidak semestinya. Selain bersama para pengrajin, Jangkar nyaris sendirian dalam membangun Port Blue Shoes.  Ia melakukan semua rangkaian promosi produk seorang diri.

“Sebetulnya ketika kita berusaha, tidak harus ribet. Misalkan harus ada tim riset, tim fotografi, tim desain segala macam. Kita bisa melakukan hal itu sendiri asalkan kita mau. Di awal-awal, saya mencoba bikin situs sendiri dan membangun promosi. Itu saya lakukan sendiri,” ungkapnya.

Selain untuk produksi, modal awal yang dimiliki Jangkar banyak dihabiskan untuk promosi. Melalui beragam platform media sosial, Jangkar mengenalkan produknya kepada calon konsumennya. Padahal pada saat itu, produk yang dimiliki Port Blue Shoes masih amat terbatas.

“Banyak bikin campaign biar orang-orang tahu terlebih dahulu dengan produk ini. Kalau orang sudah suka dengan produknya, mereka mau kok menunggu produk tersebut. Di awal, kami pakai prinsip seperti itu. Kami tidak menyediakan produk yang banyak, yang artinya harus investasi banyak di awal. Kami belum bisa ke sana saat itu,” jelas Jangkar.

Jangkar mengakui, apa yang dilakukan dalam membangun Port Blue Shoes bermodalkan nekat. Tapi ia juga mencoba memperhitungkan karakter calon konsumennya, meskipun tanpa riset yang pasti. Insting pun menjadi penting. Ia memperkirakan sendiri seperti apa konsumennya, lokasi mereka di mana, serta berapa biaya yang rela mereka keluarkan. Insting-nya terbukti kuat. Produk-produk yang ditawarkan Port Blue Shoes berhasil diterima, khususnya di kota-kota besar yang menjadi pasar utama Port Blue Shoes.

 

Rangkaian produk Port Blue Shoes tersaji beragam, mulai dari tipe sepatu boots, loafer, chukka, dan lainnya. Harga yang ditawarkan juga cukup terjangkau, berkisar pada angka Rp 400.000-Rp 500.000. Saat ini, tiap bulannya ia memproduksi sekitar 2.500 pasang sepatu. Dari angka tersebut, Port Blue Shoes bisa menjual rata-rata 1.500-1.800 pasang sepatu per bulan.

Yang jelas, Jangkar kini tidak sendiri lagi. Port Blue Shoes telah mempekerjakan tujuh orang karyawan dan berkolaborasi dengan 20 pengrajin. Nah, ketika seseorang memiliki kemauan untuk berwirausaha, pastikan bahwa kemauan itu sudah kuat dan bulat. Baginya, kegagalan merupakan tangga yang akan membawanya lebih dekat pada kesuksesan.

“Jangan selalu berpikir like a pro. Harus punya fotografer, customer service segala macam. Kita bisa melakukannya sendiri kalau kita mau. Kegigihan itu harus ada. Semuanya apa adanya. Apa yang kita punya itu yang harus kita berdayakan,” pungkasnya.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related