Big Data, Big Change

marketeers article

Toni kerap berbelanja susu bayi untuk anaknya di sebuah gerai minimarket yang terletak tak jauh dari kediamannya. Awalnya, ia membeli susu berukuran kecil beserta popok bayi. Namun, sesampainya di kasir, Toni berubah pikiran. Ia lantas mengganti susu dengan ukuran yang lebih besar. Toni pun kembali mengantre di kasir untuk membayar barang belanjaannya dan segera menuju rumah.

Dari ilustrasi di atas, data apa yang terekam di komputer kasir? Tentu saja, data transaksi yang menyatakan Toni membeli susu berukuran besar. Tapi, apakah ada data yang menyebut sebelum Toni membeli susu ukuran besar, dia sempat mengambil susu ukuran kecil? Sayangnya, komputer kasir tak merekam data tersebut.

Begitulah kurang lebih gambaran seberapa besar data yang ada di muka bumi ini jika setiap peristiwa terekam dalam bentuk digital. Kalaupun itu terekam, apa pentingnya mengetahui bahwa Toni mengubah pikirannya ketika membeli susu bayi?

Mungkin, bagi orang awam, data itu tidak penting. Namun, justru data-data yang tak penting itu menjadi cikal-bakal perkembangan Big Data di dunia saat ini.

Semua bermula ketika raksasa peritel online Amazon mencoba menganalisis apa yang dilakukan pengunjung situsnya sebelum mereka memutuskan mengklik “buy” untuk buku yang ingin dibelinya. Hasilnya, orang kerap membaca ulasan orang-orang tentang buku yang hendak mereka beli.

“Sehingga, ketika ada orang lain mencari buku yang sama, ulasan terbaik berada di posisi teratas laman situs. Dengan harapan, orang akan membeli setelah membaca situs tersebut,” kata Fajar Muharandy, Chief Solution Architect PT Teradata Indonesia, perusahaan analisis Big Data berbasis di Amerika Serikat.

Fajar mengatakan, apa yang dilakukan Amazon pada dasarnya sederhana, yaitu mengumpulkan data klik dari setiap orang yang mengunjungi situsnya. Dari situ, lahirlah istilah click stream analysis yang menganalisis data klik sebelum transaksi. Ini merupakan awal Big Data berkembang.

“Pertama kali perusahaan besar menganalisis big data, bukan data transaksi. Melainkan data pencarian, data orang ngeklik selama di situs,” ucapnya.

Data-data klik itu awalnya tidak dinilai penting, bahkan dianggap sampah, sehingga tidak pernah disimpan. Bayangkan, berapa banyak klik yang dilakukan seseorang di dalam sebuah situs. Kalikan dengan jumlah pengunjung situs tersebut, berapa banyak data yang dimiliki. Banyak bukan? Tak heran, semua itu disebut Big Data.

“Data sebesar ini bisa disimpan dan bisa diolah karena bermunculan teknologi yang memudahkan kita mengolah data seperti itu dengan biaya yang lebih murah,” ujar Fajar.

Lantas, apa fungsinya data tersebut bagi perusahaan atau merek saat ini? Fajar menjawabnya lewat sebuah ilustrasi yang kerap terjadi di industri penerbangan. Ketika sesorang mencari tiket pesawat secara online, banyak hal yang dilakukan ketika berada di situs itu, sebelum akhirnya orang itu benar-benar membeli tiket.

“Misalnya, saya cari tiket Jakarta-Solo, ternyata tidak ada jadwal yang sesuai. Akhirnya, saya klik “kembali”, dan memilih opsi Jakarta-Yogyakarta. Sesampainya di Yogya, saya berencana naik kereta menuju Solo. Kira-kira, informasi apa yang tersimpan di perusahaan penerbangan tersebut?” tanyanya.

Yang pasti, lanjut Fajar, informasi dirinya membeli tiket tujuan Jakarta-Yogya menjadi data tunggal yang dimiliki oleh perusahaan penerbangan itu.

Bisa jadi, Fajar tidak lah seorang diri. Melainkan, ada banyak calon penumpang lain yang mesti mengganti rute penerbangan, hanya karena mereka tak menemukan jadwal yang sesuai menuju kota tujuan.

“Kalau begitu, perusahan penerbangan bisa memutuskan untuk membuat jadwal baru Jakarta-Solo. Atau mungkin, menciptakan bundling tiket harga pesawat dengan kereta api. Artinya, lewat Big Data, perusahaan bisa membuka potensi bisnis baru,” terang Fajar.

Manfaat Big Data bagi perusahaan dan merek tidak melulu soal peningkatan penjualan. Lewat Big Data, perusahaan bisa menekan biaya operasional, meningkatkan pengalaman pelanggan, mencegah dan mendeteksi fraud, hingga mengamati perilaku pelanggan sebagai dasar inovasi produk dan layanan.

“Semua tergantung pada objektif perusahaan menggunakan Big Data. Namun, sebaiknya semua berangkat dari masalah bisnis yang dihadapi. Lalu, manfaatkan data yang ada untuk memperbaiki masalah. Setelah itu, tentukan teknologi apa yang digunakan untuk mengolah data itu,” jelas Fajar.

Tantangan yang dihadapi perusahaan dalam implementasi Big Data adalah menyangkut ketersediaan data itu sendiri. Fajar bilang, banyak klien yang ingin mengolah data, namun tidak memiliki data.

Masalah lainnya, banyak perusahaan ingin mengolah data eksternal, seperti data dari media sosial maupun data dari Google. Padahal, mereka sebenarnya dapat memanfaatkan data yang dimilikinya. “Kadang, data internal memberikan informasi yang lebih berharga. Itu kerap tak disadari oleh perusahaan,” ceritanya.

Masalah tersebut dialami di dunia perbankan. Dari pembelanjaan melalui kartu kredit, bank hanya mengetahui data lokasi dan nilai transaksi nasabah. Dengan kata lain, bank selama ini kesulitan untuk memonitor barang apa yang sebenarnya dibeli nasabah lewat kartu kreditnya.

“Kalau kita lihat, bank memang memiliki kekurangan untuk menggali data nasabahnya. Namun, bank adalah otoritas yang memiliki data bersih. Mereka memiliki data riil tentang diri kita, mulai dari nama, usia, tempat tinggal, pengeluaran per bulan, hingga gaji kita,” paparnya. “Data itu justru tak dimiliki oleh perusahaan lain, seperti telko.”

Ia bilang, perusahaan telekomunikasi tak dapat mengetahui data sedetail yang dimiliki bank. Sebab, mayoritas pengguna seluler di Tanah Air adalah pengguna pra bayar yang tidak memberikan data pribadi sesuai kartu identitas resmi.

“Akan tetapi, perusahaan telko bisa menganalisis data pelanggan mereka, seperti penggunaan pulsa, paket data, lokasi, apa yang kita lakukan di internet, hingga jam tidur kita. Data-data itu jika diolah dapat membantu mendefinisi siapa diri kita,” pungkas Fajar.

Jika seandainya pemain telko dan perbankan dapat saling bertukar data yang mereka miliki, maka mereka pun bisa menawarkan produk yang benar-benar sesuai kebutuhan pelanggannya.

“Saya sering membuka situs Rumah123.com lewat smartphone. Kalau bank tahu itu, ia bisa menawarkan saya KPR tanpa diminta,” kata Fajar.

Regi Wahyu, CEO Dattabot mengatakan sebenarnya ada berbagai cara yang bisa dilakukan oleh pemain dalam mengumpulkan data pendukung. Perusahaan yang sebelumnya bernama Mediatrac ini misalnya menggunakan scanner khusus yang mengumpulkan data dari koran, majalah, dokumen legal hingga tulisan dokter.

“Kami juga mengumpulkan data situs, cuaca selama 15 tahun ke belakang, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lainnya,” kata Regi.

Big Data juga mulai dirasakan benefitnya di Industri kesehatan. CEO PT Mestika Farma Steve Yang mengatakan, bagi pemilik rumah sakit, Big Data mampu meningkatkan layanan pasien. “Misalnya, bagiamana pasien tidak mesti menunggu lama ketika ingin bertemu dokter,” katanya.

Sementara itu, di bidang asuransi, Big Data juga mampu mendeteksi fraud, khususnya ketika ada nasabah yang melakukan double claim. “Asuransi juga bisa mengurangi biaya klaim. Jangan-jangan, ada obat yang semestinya tak perlu, namun diresepkan oleh dokter,” tutur Steve.

Seberapa mahalkah investasi perusahaan di Big Data? Tentu harga bervariasi tergantung skala data yang ingin diolah. “Analisa Big Data itu tidak mahal. Malah sepuluh kali lebih murah dari pada harga konvensional,” ucap Regi menambahkan.

Kekurangan Data Scientist
Namun setelah mengetahui fungsi dan cara mendapatkan Big Data, ada satu kendala yang masih membelenggu dunia Big Data itu sendiri. Yaitu minimnya sumber daya manusia di bidang analisis data atau lazim disebut data scientist.

Di Amerika Serikat saja, negara asal kelahiran Big Data, jumlah data scientist-nya kurang dari 200.000 orang. Padahal, menurut McKinsey Global Institute dan McKinsey’s Business Technology Office, setidaknya saat ini, Paman Sam membutuhkan setidaknya 490.000 orang data scientist.

Para data scientist tersebut bertugas untuk membaca dan menganalisis berbagai data, sehingga insight yang dihasilkan menjadi lebih akurat dan sesuai kebutuhan perusahaan. Namun, di Amerika saja kurang, apalagi di Indonesia?

“Kami sadar, perlu banyak orang yang punya sense untuk mengolah data. Sejak dua tahun lalu, kami membuat Komunitas Data Science Indonesia. Anggotanya kini 100 orang,” kata Fajar.

Jumlah data scientist yang sedikit itu memberikan peluang bagi Indonesia yang masih dianggap early adopter di bidang big data.

Sekadar informasi, gaji data scientist di Paman Sam sebesar US$ 111.000 per tahun. Lebih tinggi ketimbang data analyst yang mencapai US$ 70.000 per bulan. Terlebih, pasar big data di seluruh dunia sebesar US$ 70 miliar dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 17%.

Big Data Dunia Ritel
Lantas, bagaimana masa depan Big Data di dunia ritel? Fajar memberikan penerawangannya. Menurutnya, dengan sumber data yang kian banyak dan terbuka, semakin mudah bagi merek untuk memonitor pergerakan produknya.

Perusahaan consumer goods, misalnya, akan menggunakan teknologi RFID (Radio Frequency Identification) untuk memonitor pergerakan barang dari pabrik ke gudang dan hingga distribusi.

big-daatasbux

“Terobosan itu bisa lahir dari data sensor. Seandainya Starbucks, misalnya, memasang alat biometrik di setiap cup, ia akan tahu ke mana produknya di bawa konsumen, hingga berapa lama waktu yang dibutuhkan konsumen untuk menghabiskan kopi yang dipesannya,” cerita Fajar.

Ia menilai, ke depan, dengan teknologi yang kian murah, setiap produk akan dilengkapi dengan chip yang terhubung dengan internet. Informasi dari chip tersebut akan menghasilkan volume data yang besar untuk diolah demi kepentingan merek itu sendiri.

Kendati demikian, bagi perusahaan kecil atau menengah jangan berkecil hati. Mereka memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk mengolah data yang mereka miliki.

“Jangan pikirkan big data-nya. Yang jelas, data is important, regardless data is small or big, new or old,” ujarnya.

Karenanya, perusahaan harus memanfaatkan data, dan memulai untuk menganalisis datanya sedini mungkin. “Mau marketeer perusahan kecil atau menengah, banyak hal yang bisa dilakukan dengan data Anda,” pesan Fajar.

Kembali ke kasus Toni, apakah perusahaan Anda adalah tipe yang hanya mengetahui transaksi terakhir Toni? Atau telah mencoba menganalisis perilaku konsumen sebelum memutuskan pembelian? Atau jangan-jangan, pertanyaannya malah begini: “Sudahkah perusahaan Anda memanfaatkan Big Data?”

Editor: Sigit Kurniawan

Related