Bisakah Startup Masuk Industri Kesehatan yang Berlapis

marketeers article
37180603 doctors and nurses walking in hospital hallway, blurred motion.

Rumit, mungkin adalah salah satu kata yang tepat bila merangkum permasalahan industri startup kesehatan di Indonesia. Tidak hanya pelaku, konsumen pun terkadang masih harus menghadapi beragam birokrasi yang rumit.

Padahal menurut laporan Startup Report 2017 yang dirilis oleh Daily Social, industri kesehatan merupakan salah satu sektor yang akan tumbuh pada tahun 2018, bersamaan dengan fintech dan media. Beragam startup kesehatan juga sudah mulai bermunculan di Indonesia, sebut saja HaloDoc, Apotek Antar, dan Alodokter.

“Industri startup healthcare ini mirip dengan ketika fintech muncul dua tahun lalu,” ujar Rama Mamuaya CEO Daily Social di Jakarta, Kamis (8/2/2018).

Pernyataan Rama ini bukan tanpa alasan. Sebab, dua industri ini, kesehatan dan keuangan, adalah industri yang diproteksi oleh beragam regulasi, mengingat tingkat keamanannya yang tinggi. Belum lagi di industri kesehatan juga sudah banyak pemain-pemain raksasa yang sudah lebih mapan bila dibandingkan dengan pelaku startup ini.

“Agak susah untuk bisa menembus industri kesehatan ini. Butuh waktu, tapi suka atau tidak suka ini adalah masa depan,” singkat Rama.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Danny Wirianto selaku CMO GDP Venture. Baginya kunci dari permasalahan di industri startup kesehatan adalah kemudahan. Ia mencontohkan masih banyak pemegang kartu BPJS Kesehatan yang harus mengantre lama, tanpa ada kepastian kapan bisa diperiksa.

“Misalnya, kita semua dikasih tahu kapan harus datang ke rumah sakit dan semuanya akan gampang dan tidak harus berjubel di rumah sakit,” ujar Danny.

Di Indonesia, membuat janji dengan dokter untuk konsultasi terkadang masih mengharuskan calon pasien untuk datang ke rumah sakit, hanya untuk mengambil nomor antrean. Ia membagi pengalamannya di Amerika Serikat ketika mengantar anaknya berobat di sebuah klinik.

“Setelah diperiksa kan harus beli obat, tapi dokternya hanya menanyakan saya tinggal di mana. Ia hanya memberi tahu dalam perjalanan pulang nanti saya akan melewati apotek dan tinggal menyebutkan nama saya dan obatnya langsung disediakan,” jelas Danny.

Baginya, hal yang mudah seperti ini sudah seharusnya diberikan kepada masyarakat di Indonesia. Walaupun ia menyadari bahwa praktiknya juga tidak mudah sebab ada integrasi sistem teknologi dan jaringan. “Pengalaman saya di Amerika Serikat kala itu adalah dokter juga memberikan obat dari harga yang termurah. Tidak ada titip-titipan obat,” terangnya.

Ia meyakinkan bila ada startup yang mampu menghapus mata rantai seperti yang terjadi saat ini, akan ada banyak investor yang mau untuk berinvestasi di sana.

“Mungkin saat ini beberapa stakeholders di industri kesehatan belum atau tidak mau berubah. Tapi, kalau sudah ada yang men-distrupt ini semua makan akan merubah segalanya di industri ini,” pungkasnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related