Brand-brand Yang Paling Sering Dibeli Konsumen Indonesia

marketeers article

Kantar Worldpanel baru saja merilis Brand Footprint 2017, alias merek-merek yang paling banyak dibeli konsumen. Tak heran, merek-merek dengan distribusi yang kuat bertengger di posisi puncak.

Brand Footprint merupakan penelitian yang dasar pengukurannya dilakukan dengan menggunakan metriks Consumer Reach Point (CRP), yaitu seberapa banyak rumah tangga membeli sebuah brand (penetrasi) dan seberapa sering merek tersebut dibeli oleh konsumen (frekuensi).

Penelitian yang dilakukan selama setahun ini mengamati pergerakan 15.300 merek FMCG (fast moving consumer goods) di 200 kategori di satu miliar rumah tangga yang tersebar di 43 negara, salah satunya Indonesia.

Di Indonesia, Kantar Worldpanel melakukan survei kepada 5.700 sampel rumah tangga Indonesia urban yang diklaim mewakili 28 juta juta penduduk atau 85% dari total rumah tangga urban tanah air.

Hasilnya? Posisi tertatas diraih oleh merek mi instan Indomie. Berdasarkan survei itu, merek besutan Indofood tersebut dianggap sebagai merek yang paling banyak dibeli konsumen. Penetrasi Indomie mencapai 99,1%.

“Rata-rata, Indomie dibeli sebanyak 3-4 kali selama sebulan oleh penduduk Indonesia,” ujar Fanny Murhayati, New Business Development Director Kantar Worldpanel Indonesia saat memberikan presentasinya terkait Brand Footprint 2017.

Ternyata, tak hanya Indomie sebagai mi instan yang paling banyak dibeli. Mie Sedaap pun mulai membayangi hegemoni Indomie. Mi instan produksi Wings Group itu bertengger di posisi tiga dengan tingkat penetrasi sebesar 92,8%.

Adanya dua merek mi instan dalam daftar ini semakin membuktikan bahwa penduduk Indonesia adalah pengonsumsi mi terbesar di dunia. Catatan World Instant Noodle Association, Indonesia adalah negara dengan konsumsi mi instan terbesar kedua setelah China, atau mencapai 13,2 miliar bungkus selama tahun 2015. Dalam kata lain, konsumsi mi per kapita per tahun masyarakat Indonesia mecapai 51 dus.

(Baca Juga: Indomie Melirik Pasar Mi Premium)

Menurut Fanny, Indomie berhasil mempertahankan posisinya sejak lima tahun terakhir. Ia lantas mengatakan bahwa kesuksesan Indomie juga disebabkan karena penjualan internasionalnya yang diklaim membanggakan.

Di Nigeria, Indomie meraih posisi teratas Brand footprint 2017, belum lagi dengan performanya di pasar negara Afrika lain, seperti Ghana. Indomie juga telah masuk pasar Malaysia, Timur Tengah, Turki, dan Amerika Serikat.

Brand yang memberikan value seperti mudah dan murah memang kerap masuk dalam daftar Brand Footprint. Indomie dan Mie Sedaap adalah dua di antaranya,” kata Fanny.

Selain Indomie dan Mie Sedaap, merek yang memiliki penetrasi di atas 90% adalah Royco (posisi 2), Frisian Flag (posisi 4), dan So Klin (posisi 5). Yang menarik dari survei tersebut adalah enam dari sepuluh merek teratas dikuasai oleh pemain lokal. Secara total, ada 14 merek asli Indonesia dalam daftar Brand Footprint 2017 yang mengantongi penetrasi di atas 90%.

Fanny menilai, inovasi produk dan kegiatan pemasaran yang dilakukan berhasil menyokong merek-merek tersebut mempertahankan basis pembelian, di tengah harga rata-rata produk FMCG yang meningkat serta penurunan frekuensi belanja masyarakat Indonesia selama tahun 2016.

Saat dikonfirmasi, Fanny mengatakan bahwa pasar FMCG tahun 2016 mengalami minus dari segi volume, namun naik sekitar 5% dari segi value. Kenaikan value tersebut lebih disebabkan karena adanya kenaikan harga di sejumlah produk FMCG.

Sekadar informasi, pada Q1 2017 saja, industri FMCG hanya puas tumbuh satu digit alias 3,9%. Padahal, pada Q1 2016, FMCG bisa tumbuh 11,3%. Meski inflasi terkendali di bawah 4%, konsumen Indonesia nampaknya melihat sentimen di luar faktor makro ekonomi, seperti situasi politik selama Pilkada yang mendorong mereka mengerem konsumsi. “Tahun ini, saya lihat FMCG tumbuh single digit,” ucap dia.

Lima Langkah Penyelamat

Setidaknya, ada lima cara yang bisa dilakukan brand dalam memperluas jumlah konsumen dalam rangka meningkatkan penetrasi. Cara ini juga dianggap mampu membuat konsumen membeli produk lebih sering ketimbang biasanya.

Petama, ciptakan new needs. Biasanya, merek yang bermain di banyak kategori punya peluang menciptakan kebutuhan baru. Seperti yang dilakukan Kalbe melalui brand Fitbar yang menawarkan produk snack sehat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Mondelez lewat BelVita yang diposisikan sebagai biskuit untuk sarapan sehat on the go.

Kedua, hadirkan more moments, yaitu produk yang ditawarkan sesuai dengan momen di mana konsumen terpincut untuk membeli. Momen ini pernah diciptakan oleh BengBeng yang membuat tagline “Beli BengBeng dingin atau panas”. Momen itu disebarluaskan lewat aktivitas iklan dan trade marketing di mana BengBeng mulai menaruh produknya di lemari pendingin yang ada di modern market. 

Ketiga, more target users. Menciptakan beberapa produk sesuai target pengguna bisa menjadi cara meningkatkan penetrasi dan frekuensi pembelian. Ini dilakukan oleh Paragon yang membuat tiga merek dengan segmentasi pengguna yang berbeda, seperti Wardah untuk meng-grab pasar muslim kelas menengah, Make Over untuk pasar kelas menengah atas profesional, dan Emina untuk pasar remaja.

Keempat adalah more presence atau meningkatkan ketersediaan produk. Dalam hal ini, tak sekadar merek harus masuk ke MT atau GT, melainkan juga sebisa mungkin memperlebar cakupan pasarnya ke negara kawasan atau hingga pasar internasional. Kopiko 78, merek kopi siap minum dari Mayora sudah menjadi market leader di Filipina. Begitupun dengan biskuit Richesse produksi Nabati yang mulai ekspansi ke pasar China.

Dan kelima adalah menghadirkan new category. Bermain di kategori baru dapat membuka peluang suatu brand dibeli oleh konsumen baru dan dengan demikian mampu merangsang pembelian. Ini pernah dilakukan oleh merek susu Zee yang bermain di kategori healthy snack bar, maupun Frisian Flag yang menciptakan produk di banyak subkategori susu, mulai dari bubuk, kental manis, hingga susu cair.

Andrew F. Saputro, Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia mengamini data tersebut. Ia bilang yang membuat performa brand ini cukup terlihat bagus adalah karena pasar susu memang tengah bertumbuh. Selain itu, dari sisi brand, Frisian Flag memiliki portofolio produk yang lengkap, di samping ditunjang dengan jalur distribusi yang baik.

“Tidak hanya distribusi, penetrasi Frisian Flag juga didukung oleh upaya kami dalam memastikan konsistensi pemasaran. Kami memiliki promosi yang massive yang membuat kami selalu dekat dengan konsumen,” ucap dia.

Jika diamati, merek-merek yang masuk dalam daftar ini adalah mereka yang memiliki kanal distribusi yang luas. Merek tersebut cenderung bermain di pasar mass dengan harga terjangkau serta menawarkan value fungsional yang esensial dalam kehidupan sehari-hari.

Merek-merek ini sejatinya mesti berhasil meningkatkan penetrasinya di general trade (GT). Faktanya, GT masih mendominasi tempat belanja masyarakat Indonesia. Data Kementerian Perdagangan menyebut, pasar tradisional menguasai 92% pusat belanja di Indonesia.

Tahun 2014, total jumlah toko tradisional di Indonesia mencapai 3,04 juta, tumbuh 7,5% per tahun atau bertambah 117.000 toko saban tahunnya. Sedangkan pada tahun yang sama, total pasar swalayan seperti minimarket mencapai 34 ribu toko, tumbuh 52,5% per tahun atau bertambah 2.680 toko.

Kendati merek-merek yang berhasil menguasai kanal distribusi adalah yang keluar sebagai jawara, Brand Footprint juga mengamati merek-merek yang mengalami pertumbuhan CRP tertinggi. Tahun ini, produsen kopi saset Kapal Api menjadi merek dengan pertumbuhan consumer reach point tertinggi atau naik 16,6% dari tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan bahwa orang Indonesia semakin sering mengonsumsi kopi saset.

Fanny menerangkan, manfaat Brand Footprint bagi pemain FMCG adalah selain dapat melihat posisi suatu brand di market, juga dapat mengindentifikasi performa kompetitor. “Hal ini dapat merangsang pemain FMCG merakit strategi pemasarannya, apakah fokus menarik konsumen baru atau melipatgandakan pembelian dari konsumen yang sudah ada,” terang dia.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related