Cara Cerdas BUMN Hadapi Krisis

marketeers article
Lifesaver launched a drowning man in the sea

Krisis menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari dinamika perusahaan. Termasuk juga perusahaan-perusahaan milik negara atau BUMN. Sayangnya, tidak semua perusahaan mampu menyikapi krisis dengan baik. Bahkan, perusahaan merasa kewalahan ketika krisis terjadi. Padahal, krisis bisa diolah menjadi momentum untuk mengangkat perusahaan.

Menanggapi ini, Program Studi Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya (UAJ) menggelar Diskusi Ilmiah bertajuk “Bedah Kasus Krisis BUMN: Multi-Perspektif” di Kampus 3 BSD, Jumat (23/8/2019). Diskusi ini menghadirkan pakar ekonomi UAJ A. Prasetyantoko, Perwakilan Pricewaterhouse Coopers Daniel Rembert, Perwakilan BULOG Benny Siga Butarbutar, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan.

Prasetyantoko mengatakan saat ini BUMN terus mengembangkan korporasinya seperti mengakuisisi beberapa pembangunan sehingga muncul fenomena atau fakta yang menyebutkan bahwa BUMN menjadi konglomerat atau konglomerasi BUMN. Ini merupakan suatu yang positif karena pendapatan meningkat tetapi menimbulkan dampak negatif lain, yaitu kecemburuan dari aktor ekonomi lain dan utang negara.

“Keadaan demikian tidak bisa dipungkiri. Adanya konglomerasi BUMN akan memunculkan kecemburuan dari industri lain. Di sisi lain, dengan gencarnya pembangunan, modal BUMN sendiri itu tidak cukup. Mereka harus berutang dan itu merupakan suatu kerawanan sendiri bagi BUMN,” ujar Prasetyantoko yang juga Rektor UAJ Jakarta.

Ia menilai posisi BUMN tidak  terlalu mudah karena harus mengatur ekspektasi dari publik dan ekspektasi dari industri lain. Sebab itu, diperlukan tata kelola manajemen BUMN yang baik. Selain memperbaiki manajemen, sambung Prasetyantoko, BUMN juga harus memperbaiki komunikasi ketika menghadapi krisis.

“BUMN perlu memperbaiki tata kelola manajemennya, baik dari segi  manajemen internal ataupun komunikasi publiknya agar dapat lebih baik menghadapi krisis. Manajemen krisis yang baik akan meningkatkan valuasi perusahaan serta kepercayaan pemerintah dan publik. Karena pemerintahan yang baik,  kualitas yang baik kalau tidak ada komunikasi publik yang baik tidak akan punya dampak,” tegas Prasetyantoko.

Di sisi lain, Daniel Rembert mengamati kasus BUMN dari perspektif strategi manajemen. Ia mengatakan BUMN ini tidak terlalu siap dalam menghadapi suatu krisis dan cenderung tidak mempunyai strategi khusus dalam menghadapi krisis. Selain itu, fungsi Public Relations (PR) juga tidak dimaksimalkan sebagai calm center yang menenangkan baik publik internal maupun eksternal.

“BUMN tidak ada latihan sebelumnya dalam menghadapi krisis. Seharusnya mereka bersikap seperti apa dan bagaimana proses recovery-nya. Bahkan, dalam  proses perbaikan krisis itu tidak hanya memperbaiki manajemen perusahaan tetapi juga reputasi perusahaan tersebut karena reputasi itu penting,” tutur Daniel.

Senada dengan Daniel, Benny Butarbutar menjelaskan bahwa BUMN tidak siap dalam menghadapi krisis dan cenderung menghindari konflik sehingga menimbulkan persepsi yang kurang baik bagi publik ataupun media. Dalam konteks ini, peranan seorang PR signifikan dalam BUMN untuk mengkonfirmasi isu-isu yang sedang beredar. PR juga perlu mengasah keberanian.

“Krisis atau konflik itu harusnya dihadapi, tidak ditinggal lari. BUMN tidak terlalu menyadari peran komunikasi sehingga terkadang tidak meletakkan PR pada struktur yang tepat. Di sini bisa dilihat pentingnya kapasitas pembangunan untuk seorang PR di BUMN ini khususnya di dalam membentuk persepsi publik. Di sisi lain, PR itu harus berani menghadapi media untuk mengkonfrontasi isu apa yang sedang beredar dengan fakta-fakta yang terjadi di perusahaan tersebut,” jelas Benny.

Sementara sebagai perwakilan dari media, Manan memaparkan pada dasarnya media itu melayani kepentingan publik dan publik itu berhak tahu tentang apa yang sedang terjadi. Pemberitaannya pun sesuai standar media arus utama, dengan mengedepankan nilai berita yang sesuai dengan fakta.

Manan menyampaikan bahwa jurnalis berbeda dengan humas. Seharusnya jurnalis harus bisa lebih kritis. “Apa bedanya jurnalis dengan humas ketika media hanya membuat suatu berita yang baik pada publik tentang perusahaan itu, karena itu bukan tugas kami. Pada dasarnya tugas kami adalah mencari kebenaran akan suatu peristiwa,” tandas Manan.

    Related