Crowdo, Cerita Fintech yang Bisa Menjangkau Petani

marketeers article
13404086 thai asian farmer in tobacco field watering culture

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak kemunculannya selalu mendengungkan satu hal, yaitu literasi keuangan. Sebagai pembuat kebijakan, OJK selalu mendorong bagaimana produk investasi menjangkau banyak lapisan. Mereka mengklaim cukup sukses atas apa yang telah dilakukan. Tapi di satu sisi dengan industri finansial yang cukup sensitif terhadap aturan, aplikasinya tidak secepat itu.

Kini lewat kemajuan teknologi, literasi finansial ternyata bisa menjangkau dengan lebih cepat. Salah satunya karena faktor startup financial technology alias fintech yang cukup bisa menerobos batasan dan aturan ketat industri keuangan. Tanpa prosedur berbelit dengan persyaratan bejibun, masyarakat terutama sektor UKM bisa meminjam dana dengan cepat, syarat ringan, bahkan cukup dari ponsel mereka.

Hal itu pula yang mendorong semakin ramainya pemain fintech di Indonesia, sebut saja pemain lama DOKU, GO-PAY dari GO-JEK, Modalku, sampai penyedia sistem pembayarannya seperti Veritrans. Sekarang ada lagi Crowdo, fintech asal Singapura yang masuk Indonesia pada 2015 lalu.

“Kami fintech yang bergerak di sektor peer to peer lending. Atau lebih simpelnya marketplace untuk para kreditur dan debitur. Para pencari modal bisa menemukan investor di portal kami. Bunganya cukup kompetitif sekitar 10% setahun atau lebih tergantung kesepakatan dan jenis bisnisnya,” ujar Country Manager Crowdo untuk Indonesia Cally Alexandra di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurutnya salah satu solusi yang ditawarkan oleh Crowdo dan pemain-pemain sejenisnya adalah soal kemudahan dalam syarat. Jika meminjam di bank, salah satu persyaratannya adalah harus minimal telah memulai usaha dengan usia tiga tahun. Di Crowdo syarat itu tidak ada. Bahkan Cally mengatakan bahwa banyak sekali peminjam dari Crowdo berasal dari sektor pertanian.

“UKM di Indonesia itu kan ada 60 juta, namun 60 persen dari mereka belum terjamah oleh bank. Salah satu kendalanya tadi. Terlalu muda atau atau belum memiliki aset tetap untuk dijaminkan. Sementara di Crowdo aset seperti mobil sampai pihutang bisa dibayarkan,” sambung Cally.

Ia mencontohkan petani-petani sayuran di sebuah daerah yang menjadi kreditur di Crowdo. Mereka butuh modal untuk menanam dan panen sayur sebelum didistribusikan ke pasar. Biasanya ada distributor tertentu yang memastikan produk mereka dijual ke pasaran. “Jaminan dari distributor ini atau bisa disebut piutang adalah kartu mereka untuk meminjam ke Crowdo,” sambungnya lagi.

Walau mungkin sebenarnya para petani itu tidak terjamah oleh teknologi, peran distributor bermain di sini. Pihak inilah yang kemudian menyambungkan para petani kepada Crowdo.

Gamang

Crowdo memang baru sampai pada tahapan berbasis website. Kalau pun ada aplikasi smartphone, itu pun baru tersedia untuk debitur. Namun mereka mengklaim sejak kehadirannya dua tahun lalu, sudah ada sekitar 1.500 proyek dibiayai. Keanggotaannya pun sudah ada sampai lebih dari 30.000.

Selain itu Crowdo sudah hadir di 140 negara. Itu menjadikannya bisa diakses dari negara manapun, sehingga debitur bisa datang dari mana saja. Sebelum di Indonesia, Crowdo sudah hadir di Malaysia secara perwakilan.

Cally dan timnya punya target cukup ambisius untuk di masa depan. Setidaknya ketika ada kreditur ingin meminjam sampai Rp1 miliar sampai Rp2 miliar, bisa diproses dalam waktu beberapa jam. Saat ini untuk pihak kreditur yang ingin berinvestasi bisa deposit mulai dari Rp1 juta saja.

Ditanya bagaimana persaingannya dengan sektor perbankan, Cally tampak masih gamang. Ia belum menjamin akan berkolaborasi atau justru berkompetisi. Apalagi sebagai startup, memang tampak sulit jika fondasi keuangan tidak cukup kuat. Berkolaborasi adalah salah satu tujuan memperingan langkah sebuah startup keuangan.

Di satu sisi sektor perbankan yang dijembatani oleh aturan ketat tidak memiliki teknologi secanggih dan selincah fintech. Namun fintech bukanlah perusahaan dengan aset besar seperti perbankan konvensional.

“Ya kalau kolaborasi ke depannya dimungkinkan. Tapi dari Crowdo belum 100%. Kami fokus memperbesar bisnis sendiri dulu. Kalau mungkin pun kita bisa sebagai partner perbankan sebagai platform pinjaman bagi mereka yang usahanya di bawah tiga tahun. Nah, baru setelah lebih dari tiga tahun, masuk ke perbankan. Istilahnya kami ini sekolahnya dulu,” terang Cally.

Lalu bagaimana Crowdo bisa mendapatkan pemasukan? Sistemnya adalah Crowdo mendapatkan sebanyak 3% dari dana dipinjamkan. Jika misal sebuah UKM mencari dana Rp100 juta, dapat, lalu cair, Crowdo mendapatkan 3% dari nilai tersebut. Cally meyakinkan bahwa besaran 3% tersebut memang setelah dana cair.

Sebagai sebuah marketplace keuangan, ia juga meyakinkan bahwa walau pada akhirnya hubungan langsung terjadi antara debitur dan kreditur, Crowdo akan tetap terlibat jika ada masalah. Terutama soal kredit macet. “Kami akan hadir sebagai penengah,” tutupnya.

    Related