Mengapa Pelaku Online Commerce Pindah ke Offline Channel?

marketeers article
44054986 man at the desk with his laptop and a miniature trolley. conception of shopping on the internet

Ritel online commerce saat ini tidak hanya mengandalkan kanal online. Beberapa pemain juga mulai menyadari pentingnya hadir secara offline. Dalam pemasaran hal ini biasa disebut sebagai O2O (Online to Offline) atau ada juga yang menyebutnya sebagai strategi omni-channel.

Beberapa pemain global sudah membuktikan mujarabnya strategi O2O. Perusahaan kacamata, Warby Parker selaian menjual secara online juga membuka toko fisik di puluhan kota di Amerika Serikat dan Kanada. Merek fesyen pria asal Amerika Serikat, Bonobos, juga membuka puluhan toko offline di Amerika Serikat.

Bonobos memiliki konsep offline store yang unik. Mereka menyebut offline store mereka sebagai Guideshops. Alih-alih terdiri dari deretan pakaian siap pakai, Bonobos mengharuskan pelanggannya untuk membuat janji terlebih dahulu kepada penata busana di offline store tersebut. Setelah membuat janji, sang penata busana akan mengukur badan pelanggan beserta pakaian yang akan digunakan. Mirip-mirip seperti mendatangai tukang jahit bila di Indonesia. Setelah cocok, pelanggan baru memesan pesanan mereka secara online dan pakaian tersebut akan dikirimkan ke rumah pelanggan.

Selain dua nama di atas, masih ada beberapa nama yang melaksanakan konsep O2O. Baru-baru ini pemain e-commmerce besar asal Amerika Serikat, Amazon, juga akan membuka toko offlinenya dengan nama Amazon Go. Padahal kurang terkenal apa coba Amazon di dunia digital.

Pelaku online commerce semakin menyadari bahwa platform digital tidak cukup untuk memuaskan pelanggan saat ini. Secanggih apa pun teknologi dan pemahaman konsumen, ada kalanya konsumen kembali dalam bentuk paling sederhana ketika melakukan transaksi, yakni melihat, menyentuh, mencium, dan merasakan produk yang akan dibeli.

Selain itu, industri online commerce, fesyen khususnya, semakin banyak pelakunya. Pemain-pemain besar yang memiliki amunisi dana yang tidak berseri bisa saja melakukan biaya pemasaran agar situs mereka selalu berada di atas pada halaman pertama kolom pencarian. Namun, bagaimana dengan pemain kelas menengah atau yang tidak memiliki dana yang besar.

Bermain secara digital tentu saja nama pemain menengah ini tertutup bayang-bayang pemain besar. Offline channel bisa menjadi satu alternatif dan diferensiasi dari pemain raksasa ini. Bukan berarti pemain besar tidak diijinkan untuk membuka offline store.
O2O di Indonesia

Peralihan dari offline menjadi online tentunya sudah jamak kita temui. Sedangkan untuk online menjadi offline mungkin masih menjadi tren yang baru di Indonesia. Namun, rupanya kondisi ini akan terus berlanjut.
Apalagi, tidak jarang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia justru memulai bisnisnya melalui online karena adanya keterbatasan modal. Ketika bisnis mereka membesar, cepat atau lambat, offline akan menjadi rencana mereka selanjutnya sebagai bagian dari eksistensi merek.

Toko offline memungkinkan konsumen untuk melihat secara langsung produk yang ingin dibeli, bisa mencobanya, serta mengulik lebih dalam apa keunggulan dari produk itu. Namun, meskipun mal baru terus muncul di kota besar Indonesia, tak lantas membuat harga sewa tenant menjadi murah. Sebaliknya, setiap tahun, harga sewa properti, entah itu di mal atau pun ruko terus mengalami kenaikan.

Di Indonesia sudah ada beberapa nama yang melakukan strategi O2O. Dari Lazada, Blibli.com, dan Berrybenka. Sepanjang tahun 2016, Berrybenka memperkenalkan strategi omni-channel dengan memadukan berbelanja online dan offline melalui 14 pop-up store Berrybenka di seluruh Indonesia. Suksesnya strategi ini menjadi landasan Berrybenka untuk semakin serius menjalankan strategi ini dalam mencapai target pertumbuhan yang stabil di angka 300% pada tahun 2017.

online commerce
Pop-Up Store Berrybenka

“Kami mengalami peningkatan penjualan dan customer sebesar 150% dari tahun ke tahun. Namun, setelah pengimplementasian strategi O2O di tahun ini, pertumbuhan penjualan dan customer meningkat hingga 300% di masing-masing kota yang telah didirikannya Berrybenka Pop Up Store,” ujar Danu Wicaksana selaku Managing Director PT Berrybenka

Untuk tahun ini, Berrybenka juga merencanakan untuk membuka sekitar 20 pop-up stores dan beberapa gerai permanen untuk semakin memanjakan para pelanggannya.

Apa yang perlu dipersiapkan untuk membangun offline store?

Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi pelaku bisnis online, baik dalam skala kecil dan besar ketika memiliki niatan untuk membuka offline store.

Beberapa waktu lalu Jason Lamuda selaku CEO PT Berrybenka berbagi tips bagi pelaku bisnis yang ingin membuka offline store. Baginya langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan mengikuti bazaar di pusat perbelanjaan.

“Ikutan bazaar dulu saja. Itu risikonya rendah karena cuman tiga hari durasinya dan trafiknya dibantu sama bazaar itu sendiri,” ujar Jason.

Setelah dirasa sukses, Jason menyarankan untuk mencari lokasi yang ramai dan membuka pop-up booth dalam durasi satu minggu atau satu bulan. Bila hasilnya memuaskan baru merek memikirkan untuk membangun toko permanen.

“Lokasi itu biayanya tergantung negosisasi dengan pihak mall. Cari tempat yang sudah ada trafiknya. Sebagai online brand kami tahunya di dunia online. jangan buka di tempat yang diujung dan jangan buka di tempat yang sepi,” tambahnya.

Jason mengingat ada satu pengalaman Berrybenka ketika membuka pop-up store namun hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi yang telah dibayangkan.

“Analisis yang kami lakukan saat itu adalah kalau biaya rentalnya sekian, luasnya sekian, ekpekstasi pengunjung sekian, dan jualannya sekian. Ada satu yang di bawah ekspektasi kami, lokasi mallnya ramai, tapi lokasi toko kami itu kurang optimal. Kami menyadari lokasi yang kami tempatkan harus ramai agar bisa sesuai dengan ekspektasi,” pungkas Jason.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related