Depresiasi Rupiah Tak Halangi Proyek Premium Farpoint

marketeers article

Perlambatan industri properti pada tahun 2014 nyatanya masih menunjukkan tren yang sama setidaknya hingga kuartal pertama tahun 2015. Penyebabnya antara lain jenuhnya pasar properti lantaran oversupply, harga BBM yang fluktutatif, hingga depresiasi rupiah terhadap Dolar Amerika yang mengerek harga sejumlah bahan baku konstruksi

Kendati dibayangi sinyal negatif, para pengembang masih tetap melanjutkan proyek properti vertikal mereka. Salah satunya yaitu PT Farpoint, pengembang real estate yang merupakan anak usaha dari Gunung Sewu Group. Sejak tahun lalu, Farpoint tengah membangun tiga proyek prestisius di Jakarta sekaligus, antara lain perkantoran Sequis Tower dan apartemen Verde 2 di kawasan CBD Sudirman, serta mixed-use The Hundred di kawasan CBD Kuningan

CEO Farpoint Jusup Halimi menjelaskan, proyek Sequis Tower dengan 39 lantai itu dijadwalkan rampung pada kuartal keempat tahun 2017 dengan memakan biaya pembangunan sebesar Rp 1 – 1,2 triliun. Biaya sewa kantor ini dipatok sekitar Rp 35 – 40 juta per meter persegi.

Hanya beberapa radius meter dari sana, bakal terdapat apartemen Verde 2 yang direncanakan selesai pada September 2017 dengan menelan biaya Rp 1,5 – 1,8 triliun. Harga yang ditawakan berkisar Rp 43 – 45 juta per meter persegi dengan luas unit antara 150-200 meter persegi.

Sedangkan proyek The Hundred yang terdiri dari 110 unit residensial, 24 lantai gedung perkantoran, dan 20 lantai hotel So Sofitel menggerus biaya lebih besar lagi, yaitu Rp 3 – 3,5 triliun. Sesuai rencana, proyek mixed-use itu akan beroperasi dalam dua tahap, yaitu pada kuartal keempat tahun 2018 untuk residensial dan hotel, serta pada kuartal kedua tahun 2019 untuk gedung perkantoran.

“Menanggapi rupiah yang terdepresiasi, biaya konstruksi memang membengkak. Sebab banyak material bangunan berasal dari impor. Kami masih mengontrol beban kenaikan ini dan dituntut untuk terus efisien”, terang Jusup, di acara temu media, di Museum Nasional Jakarta, Kamis (12/3/2015).

Jusup mengaku, pihaknya mesti berhati-hati dalam menaikkan harga. Pasalnya, pasar properti kini tengah berjalan lambat. Sehingga, pihaknya masih memilih untuk tetap bertengger di harga yang stabil. “Properti kan ada siklusnya. Meski saat ini lesu, namun trennya bakal naik terus. Jarang sekali ada kabar harga properti turun selama tiga tahun,” yakinnya.

Jusup optimistis Farpoint mampu mendulang marketing sales yang tinggi, meskipun tak satu pun dari tiga proyeknya itu yang sudah dipasarkan saat ini. Namun, untuk area perkantoran Sequis Tower dan The Hundred, Farpoint hanya menyewakan. Kata Jusup, biaya sewa mampu secara kontinu mencetak pendapatan berulang (recurring income) bagi perusahaan.

Salah satu yang menjadi diferensiasi Farpoint, lanjut Jusup, adalah selalu mengusung konsep gedung internasional grade A. Bahkan, pihaknya berjuang untuk memperoleh sertifikasi LEED (Leadership in Energy and Enviromental Design) peringkat platinum pertama di Indonesia. LEED merupakan akreditasi asal Amerika Serikat yang memberikan penilaian terhadap standar internasional gedung berwawasan lingkungan yang berkelanjutan

“Dengan mengusung dua hal itu, kami memang punya harga yang lebih tinggi dari gedung perkantotan biasa,” ucapnya.

Related