Apa Alasan Milenial Keluar dari Perusahaan?

marketeers article
Top view full length side view pensive unshaven young male employer looking at window during rest at labor. He standing on stairwell landing

Memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi terdahulu membuat generasi milenial cukup outstanding beberapa waktu belakangan. Perilaku mereka kerap mendapat sorotan, termasuk di dunia kerja. Tak jarang, banyak stereotip yang melekat pada generasi ini, antara lain gemar berpindah-pindah perusahaan.

Hal ini tercermin dalam riset IDN Times ‘Indonesia Millennial Report 2019’ yang menunjukkan, generasi milenial hanya membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun untuk bertahan di sebuah perusahaan. Lantas, apa alasannya?

Berkaca dari survei yang dilakukan Kalibrr kepada lebih dari 500 job seeker milenial (20-29 tahun) di tahun lalu, ada lima alasan utama yang membuat milenial tak betah berlama-lama di perusahaan.

Sumber: Kalibrr

Pertama, lingkungan pekerjaan yang penuh birokrasi dan tidak suportif. Alasan ini menjadi pilihan mayoritas milenial, yakni 35% responden perempuan dan 39% responden laki-laki. Berangkat dari hasil survei ini, tak heran jika mayoritas milenial memilih bekerja di perusahaan startup.

“Ada anggapan yang menilai bahwa perusahaan startup saat ini nampak lebih menarik bagi milenial dibandingkan perusahaan yang justru telah established. Perusahaan yang telah established dianggap memiliki rantai birokrasi yang cukup panjang yang membuat individu tidak dapat berkembang banyak. Sementara, startup dipandang memberikan fleksibilitas dan rantai birokrasi yang pendek membuat para milenial tertarik untuk bergabung dengan perusahaan sejenis, seperti Tokopedia ataupun Go-Jek,” jelas Andrew Nugraha Patty, Marketing Consultant at Kalibrr Indonesia kepada Marketeers.

Kedua, kesempatan yang minim bagi milenial untuk berinovasi (24% perempuan, 29% laki-laki), di tambah persoalan pendapatan yang dirasa kurang sesuai (23% perempuan, 31% laki-laki).

“Jika generasi terdahulu kerap mengutarakan ekspektasi pendapatan di bawah nilai yang seharusnya mereka terima, milenial justru tidak malu menembak angka yang mereka rasa ‘pantas’ untuk mereka terima,” ujar Dedie Renaldi Manahera, Indonesia Country HR Leader at Procter & Gamble.

Sumber: Kalibrr

Ketiga, persoalan ketidakadilan dalam penilaian kinerja (19% perempuan, 11% laki-laki), dan perkembangan karier yang lambat (14% perempuan, 16% laki-laki).

Fenomena ini menjadi tantangan sekaligus peluang baru bagi perusahaan untuk dapat menarik milenial bertalenta. Upaya yang bisa dilakukan antara lain mengubah birokrasi perusahaan dan mulai membuka kesempatan yang lebih besar bagi para milenial untuk berkembang.

Editor: Sigit Kurniawan

Related