Di Balik Kisah Sukses Jamu di Pasar Amerika Serikat

marketeers article

Memulai bisnis kosmetik dengan bahan dasar jamu ke pasar premium Amerika Serikat tentu bukan hal  mudah. Apalagi jika bisnis itu dilakukan pascatragedi Bom Bali. Mengawali dengan mengetuk pintu dari toko ke toko lain di tengah hujan salju, berjuang di tengah masa resesi, hingga menjalani interview di toilet menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Metta Murdaya, Founder Premium Skincare berbahan dasar jamu, Juara.

Photo Credits: Juara

“Sometimes business is not always born from the best plan, but personal need,” kata Metta saat ditanya mengenai alasannya memilih keluar dari salah satu perusahaan ritel di New York. Metta memilih untuk mendirikan  skincare brand berbahan dasar jamu. Padahal, ia sendiri tidak benar-benar mengenal apa itu jamu.

“Saya tidak pernah memiliki pengalaman mempelajari jamu selama tinggal di Amerika Serikat (AS). Namun, semua berubah ketika saya mulai mengeluhkan kondisi kulit saya yang terus tergempur oleh tuntutan pekerjaan. Kesibukan saya bekerja di industri ritel NYC memakan banyak waktu yang menyebabkan saya tidak memiliki waktu untuk merawat kulit,” cerita Metta.

Kata jamu terlintas dalam pikiran Metta ketika mencari produk skincare berbahan dasar alami. Ia berpikir, tidak mungkin jamu terus diwarisi dari generasi ke generasi jika produk itu tidak efektif. Bersama tiga orang teman lain, Yoshiko Roth, Jill Sung, dan Tami Chuang, ia pun memutuskan mendirikan skincare brand berbahan dasar jamu dengan label Juara.

Bersahabat dengan Resesi

Perjalanan hidup saya lebih banyak mengalami masa resesi dibandingkan good time,” kata Metta saat ditanya perihal kisah sukses bisnis Juara.

Selepas lulus dari AS, Metta kembali ke Indonesia yang tiba-tiba diterpa krisis moneter (krismon) 1997. Ia pun memilih pindah ke Singapura. Nahasnya, krismon justru berpindah ke Singapura. Upaya menyelamatkan diri pun ia ambil dengan melanjutkan studi di AS pada tahun 2002. Seperti mendapat bonus, lagi-lagi Metta terjebak dalam resesi. Kala itu, AS mengalami financial recession sepanjang 2008-2009.

Di awal meluncurkan Juara, dari satu toko ke toko lain di tengah salju yang turun, Metta bersama ketiga founder Juara lain pergi menawarkan produk Juara. Tak jarang penolakan pun mereka hadapi. Namun, dari situ justru Metta belajar bahwa “no is not always no”, maybe not this time.

Perkembangan bisnis Juara kemudian merangkak naik dalam tiga tahun kehadirannya. Lagi-lagi, Metta  justru terpaksa menelan pil pahit ketika bisnis Juara mulai merangkak naik. Tahun 2009 resesi datang, dan Juara kehilangan sekitar 50% konsumen dalam setahun. Fokus Juara bukan lagi untuk merilis produk baru, melainkan bagaimana cara bertahan di tengah perusahaan yang menggulung tikar secara masal.

“Saya melakukan apa pun yang harus saya lakukan, be nimble, be fast, adapt,” ujar Metta.

Interview di Toilet!

Juara pindah ke sebuah apartemen berukuran studio yang dipaksa menampung delapan orang pekerja. Pernah satu waktu Metta melakukan interview dengan salah satu media di toilet apartemen. “Bukan main! Masa-masa itu sungguh sulit. Ruang apartemen terlalu sumpek untuk menampung delapan orang pekerja dan inventory,” kata Metta.

Namun selalu ada pelajaran yang dapat diambil. Metta mengaku belajar banyak dalam mempelajari model bisnis apa yang dapat ia gunakan. Yang terpenting bagi Metta, ia menemukan hal terpenting dalam bisnis terletak pada jalinan yang terjalin erat antar tim Juara dalam melalui proses panjang ini.

Berbekal pikiran yang positif dan kehidupan yang seimbang, masa-masa sulit dapat dilalui Metta. Melalui Juara, Metta kini dapat memperkenalkan warisan Indonesia ke pasar kecantikan global kelas premium.

“Kembali ke misi awal, saya akan terus berusaha to make Indonesia on the map of global beauty melalui produk Juara,” tutur Metta.

Editor: Sigit Kurniawan

Related