Di Era Teknologi, Tiga Hal Ini Wajib Dimiliki Merek Agar Tetap Relevan

marketeers article
Blank space interior with view on the city and yound bussinesman wearind modern suit

Pesatnya perkembangan teknologi membuat banyak orang memprediksikan di masa depan semuanya akan serba otomatisasi. Hal ini sudah mulai terlihat dalam beberapa produk yang mulai beredar di pasaran.

Produsen elektronik sudah menciptakan dan memasarkan produk kulkas yang bisa otomatis memesan produk yang sekiranya sudah mau habis. Pengiriman logistik di beberapa negara sudah mulai menggunakan drone. Produsen otomotif bahkan sudah mulai memamerkan kemampuan self-driving.

“Semuanya dikontrol melalui smartphone. Tanpa melibatkan sentuhan manusia,” ujar Iwan Setiawan, CEO MarkPlus, Inc. sekaligus Editor in Chief Marketeers dalam ajang ASEAN Marketing Summit 2019 di Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Menurutnya, beberapa media sudah memprediksi seperti apa rupa masa depan. Ia mencontohkan, pada tahun 2000, Wired Magazine merilis tema utama tentang masa depan. Bahkan, sampul utamanya menuliskan ‘The Future Doesn’t Need Us‘. Artinya, di masa depan kemungkinan besar manusia sudah tidak memiliki peranan kembali.

Semua kemampuan manusia, dalam hal ini panca indra bisa digantikan oleh teknologi. Sebut saja AI, VR, sensor, voice recognition, dan segala macamnya.

Namun, bila dikaitkan dengan ilmu pemasaran, ia mengingatkan sedari awal semuanya adalah soal manusia, bukan teknologi. “Dari dulu konsep pemasaran selalu sama, memahami konsumen, memahami manusia,” ujarnya.

Di masa depan, tidak peduli seberapa canggihnya teknologi yang akan berkembang, merek harus tetap memiliki tiga komponen, yakni personalize, social, dan experiential.

Sejak dahulu, manusia selalu menginginkan layanan yang personal, berbeda dengan apa yang dirasakan orang lain. Sebab itu, sambung Iwan, teknologi ke depan harus bisa mengakomodir hal ini.

Pada dasarnya manusia memiliki perceived control. Manusia memilih topik, produk, brand, dan memori atas hal-hal apa saja yang ingin mereka ingat. Oleh karena itu, selain personalisasi, manusia juga menginginkan layanan yang bisa mereka kontrol sendiri.

Selain itu, teknologi di masa depan harus bersifat sosial. Ini tidak lepas dari sifat dasar manusia yang merupakan makhluk sosial. Dari awal lahir, manusia membutuhkan hubungan sosial. Seiring berjalan waktu hubungan sosial itu ebrkembang menjadi keluarga, teman, lingkungan, hingga pasangan hidup.

Iwan Setiawan, CEO MarkPlus,Inc

“Manusia membutuhkan sebuah hubungan, atau interaksi sosial. Mungkin konsep mobil otomatis sudah ada tapi terasa jauh karena manusia secara tidak sadar menolaknya,” papar Iwan.

Dari komponen sosial ini, bisa dipahami mengapa media sosial begitu sukses digemari oleh manusia. Alasannya, manusia menjadikan media sosial sebagai sumber aspirasi dari beragam aspek kehidupan.

“Instagram suukses karena menjadi alat benchmark dari manusia untuk mencari contoh gaya hidup mereka,” lanjutnya.

Terakhir, teknologi harus bersifat experiential. Panca indera yang dimiliki oleh manusia menghasilkan ragam pengalaman yang berbeda-beda di masing-masing manusia.

Menurut Iwan manusia memiliki standar kebahagiaan yang berbeda-beda. Standar kebahagiaan ini berkaitan dengan emosi yang dimiliki. Itu halnya, pengalaman konsumen memiliki kadaluarsa. Ketika sudah kadaluarsa maka produk atau layanan tersebut sudah tidak menarik lagi bagi konsumen.

“Orang kalau sudah pakai layanan yang sama secara berulang maka nilai pengalamannya akan berkurang. Pemasar harus terus berpikir inovatif,” katanya.

Dari tiga komponen tersebut, teknologi pada akhirnya mendorong merek atau perusahaan mampu menghadirkan sentuhan personal, sosial, dan experiential. “Teknologi mengajarkan kita semua untuk menjadi manusia,” tutupnya.

Related