Dwaya Manikam, Batik Premium Asal Bandung

marketeers article
Dwaya Manikam

Sebelum tahun 2009, baju batik umumnya hanya digunakan oleh  warga Kota Metropolitan untuk acara khusus, semisal menghadiri perkawinan atau seminar. Namun, kondisi itu berbalik ketika Malaysia mengklaim dan ingin menjadikan batik sebagai warisan budaya mereka.

Untungnya upaya Pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan batik sebagai warisan budaya Indonesia membuahkan hasil. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Sejak itu, batik tidak lagi menjadi pakaian formal belaka, melainkan menjadi pakaian keseharian rakyat Indonesia secara nasional.

Jumlah pengusaha yang memanfaatkan batik pun kian bermunculan, mulai dari baju hingga aksesoris. Salah satunya adalah Fajar Ciptandi, Pemilik Dwaya Manikam yang menetap di Bandung. Lantas seperti apa latar belakang dan alasan Fajar menggeluti bisnis ini? Simak penuturan Fajar kepada Marketeers dalam rangka audisi  Marketeers Youth StartUp Icon 2013:

Ceritakan sedikit tentang latar belakang bisnis yang baru Anda rintis dan pencapaian yang sudah didapatkan selama ini?

Bermula dari sebuah usaha dengan brand “Manikam Indonesia”, sejak tahun 2009 saya mencoba mengangkat sebuah produk batik ekslusif bergaya kontemporer. Produknya memiliki kekuatan pada konsep, material, visual serta detail yang banyak bermain dengan prada dan aplikasi bordir kerancang. Produk batik premium ini menyasar segmentasi market untuk kalangan menengah ke atas, seperti para kolektor batik dan pecinta wastra.

Memang apa istimewa dari produk ini?

Setiap helai kain dibuat secara custom sehingga memberikan nilai prestisius bagi pemiliknya. Kemudian seiring berjalannya waktu saya pun mulai melakukan pengembangan usaha dengan membuat second line produk yang dilabeli dengan nama “Dwaya Manikam”. Line ini mencoba untuk memenuhi permintaan terhadap produk batik bagi kalangan menengah dengan range usia remaja. Misinya adalah supaya para remaja bisa tampil modis dan gaya dengan batik serta terlihat sesuai dengan usianya. Aplikasi produk Dwaya Manikam antara lain dress dan kemeja batik, sekaligus aksesoris penunjangnya berupa kalung-kalung yang dibuat dari hasil eksplorasi bahan perca batik.  Melalui berbagai event pameran, bazar, konsinyasi dengan beberapa mall serta memanfaatkan media sosial seperti twitter dan facebook, produk Dwaya Manikam pun mendapat respon yang positif.

Apa yang telah Anda lakukan dalam mengangkat perekonomian daerah  Anda? 

Setelah hampir kurang lebih 3 tahun usaha ini berjalan, di awal tahun 2012 saya membuat sebuah program yang meniru konsep CSR dengan nama Dwaya Manikam “Start Emapthy”.  Program ini terpikir karena pengalaman saya seringnya melihat dan berinteraksi langsung dengan masyarakat di kawasan pemukiman padat penduduk Cicadas-Bandung. Ada banyak kelompok masyarakat yang menjadi buruh gunting karet dengan upah Rp 10 perak saja per buah.  Atau ada juga yang menjadi buruh melepaskan kulit kabel yang upahnya dihargai Rp 5.000 untuk per-3 kg kabel.

Kegiatan yang mereka lakukan untuk memenuhi  kebutuhan, namun seolah telah menutup kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang mereka miliki agar dapat terus berkembang sebagai individu. Tergerak melihat hal itu, maka mulailah saya menginisiasi program tersebut dengan memberdayakan masyarakat untuk tujuan menciptakan kelompok masyarakat yang mandiri, kreatif dan sejahtera. Mereka dibekali keterampilan dasar menjahit, menjelujur, dan bereksplorasi menciptakan variasi bentuk aksesoris serta dilatih juga tentang keberanian memilih kombinasi warna agar potensi yang dimilikinya teroptimalkan.

Seperti apa produk yang mereka hasilkan?

Salah satu produk Dwaya Manikam yaitu aksesoris berupa kalung batik yang merupakan contoh produk awal yang diperkenalkan kepada masyarakat tersebut, dengan permulaan terhadap 5 orang ibu rumah tangga di kawasan Cicadas-Bandung, dengan upah kerja berkisar antara Rp 5.000 sampai Rp 7000 perbuah. Mereka dapat mengerjakan di sela waktu luang kesibukan rumah tangga.  Ke depannya akan lebih banyak masyarakat yang kami bantu sehingga mampu menjadikan kawasan Cicadas sebagai kampung kreatif dan mandiri.

Apa motivasi Anda dalam mengikuti kontes ini, dan kenapa Anda layak disebut sebagai  ikon wirausaha muda di dunia startup dari kota Anda?

Alasan paling utama adalah saya ingin memperkenalkan kepada lebih banyak orang mengenai usaha yang saya jalankan sebagai salah satu cara berpromosi, berjejaring dan memperluas relasi agar usaha yang saya jalankan serta program Dwaya Manikam “Start Empathy” dapat lebih dikenal dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat.

Ajang ini pun menjadi salah satu media positif bagi saya untuk pembuktian diri. Selain itu pengalaman yang saya dapat tentu akan menjadi modal yang tidak bisa dihitung nilainya dalam proses mendewasakan diri untuk mengelola dan terus melebarkan sayap usaha saya.

Karena apa yang saya lakukan melalui usaha ini bukan semata-mata sebagai cara untuk membesarkan diri saya saja, melainkan juga bagaimana usaha ini melalui program Dwaya Manikam “Start Empathy” mampu menyentuh lebih banyak orang dengan memberikan dampak kemanfaatan secara langsung.

Related