Faktor-Faktor yang Membuat Pajak E-Commerce Sulit Terselesaikan

marketeers article
6575720 tax

Ketika ada wacana untuk mengenakan pajak kepada sektor e-commerce beberapa waktu lalu, pro kontra bermunculan. Di satu sisi ada suara mendukung karena pengenaan pajak artinya ada kesetaraan di setiap sektor bisnis yang selama ini sudah dikenakan pajak.

“Ada juga kesetaraan untuk mereka barang yang masuk dari luar dan memang produk lokal. Sekarang kan produk luar bisa masuk ke sini dengan bebas lewat platform e-commerce. Bayar pajak engga tuh? Kita tidak tahu. Makanya jangan sampai produk lokal bayar, yang luar lolos. Ini namanya kesetaraan,” ujar Head of Tax, Infrastructure & Cyber Security Division Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Bima Laga.

Namun yang membuat pengenaan pajak tidak sesederhana itu adalah soal bentuk pajaknya sendiri, dikenakan kepada platform penyedia platform atau dikenakan kepada penjual. Logikanya, mereka gerai ritel online yang memiliki dan menjual barangnya sendiri bisa langsung dikenakan pajak dari setiap barang terjual, layaknya jual beli offline.

Bagaimana dengan marketplace, yang mana platform tidak memiliki barang sendiri dan hanya menyambungkan antara penjual dan pembeli? Marketplace seperti Tokopedia dan Bukalapak memiliki peran sebagai perantara transaksi.

Uang yang dibayarkan oleh pembeli tidak langsung diberikan kepada penjual, tapi harus masuk dulu ke sistem transaksi digital milik platform. Dari situ terekam pemasukan yang nantinya akan ditransfer kepada penjual. Dengan melewati sistem digital milik platform, pengenaan pajak seharusnya lebih mudah karena datanya tersedia secara digital dalam satu kantong, tidak tercerai-berai di pihak penjual.

Sistem satu kantong milik platform tersebut bisa disebut dengan sistem payment gateway. Nah, dari sistem payment gateway tersebut rencananya pemerintah akan melakukan pengenaan pajak dari setiap transaksi terjadi.

Namun kembali lagi, transaksi e-commerce tidak sesederhana itu. Masih banyak juga sebenarnya transaksi e-commerce yang deal di platform, namun pembayarannya tunai langsung secara cash on delivery (COD). Sistem pembayaran tersebut masih berlaku bagi e-commerce berjenis iklan baris seperti OLX, yang tidak menyediakan sistem pembayaran terpusat satu kantong.

“Definisi transaksi e-commerce juga masih menjadi kajian, karena dengan adanya COD, transaksi jual beli yang terjadi di platform messenger seperti WhatsApp dan BlackBerry Messenger, sampai sosial media hingga kini dikategorikan transaksi e-commerce karena prosesnya melalui online,” sambung Bima.

Ia pun mengaku belum mengetahui lebih jelas atau memegang draft kajian pengenaan pajak e-commerce dari pemerintah. “Jadi bentuknya atau kira-kira akan seperti apa, saya belum tahu,” sambungnya.

Tentu saja akan ada dampak jika pengenaan pajak tersebut keluar dan setiap transaksi ada komponen yang dipotong. Menurut Bima, pengenaan pajak bisa saja mengurangi minat para penjual untuk menjajakan barangnya via online. Ditakutkan akan ada dorongan yang membuat mereka kembali memilih berjualan di jalur offline.

Belum lagi masyarakat Indonesia hingga kini memilih berbelanja online di sebuah platform bukan karena faktor brand atau engage dengan salah satu platform, namun karena harga. Setiap platform dibanding-bandingkan harganya, jika ada yang termurah biasanya itu yang dipilih.

Namun dengan belum terselesaikannya soal pajak, CEO Tokopedia William Tanuwijaya tetap mendukung apa yang dilakukan oleh pemerintah. “Kami itu platform yang punya fungsi menjembatani pembeli dan penjual. Sekarang dengan soal pajak e-commerce belum selesai, langkah yang kami ambil adalah selalu mendorong para penjual untuk membayar dan melaporkan pajaknya sendiri,” ujar William.

    Related