Enam Alasan Penerapan Industri 4.0 Masih Lambat di Asia Tenggara

marketeers article
15855918 cnc gas cutting on steel plate

Riset McKinsey menunjukkan Industri 4.0 akan berdampak signifikan pada berbagai industri di Indonesia. Digitalisasi bisa mendorong pertambahan sebanyak US$ 120 miliar atas hasil ekonomi Indonesia pada tahun 2025. Sekitar seperempat dari angka ini atau senilai US$ 34 miliar, akan dihasilkan oleh sektor manufaktur, menempatkan sektor ini di posisi terdepan.

Berdasarkan survei McKinsey & Company, 79% pemimpin bisnis di negara-negara berbasis manufaktur seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam pada umumnya bersifat optimistis terhadap prospek Industri 4.0. Mereka  ingin menerapkan proyek-proyek percontohan untuk berbagai teknologi dan berharap penerapan tersebut akan meningkatkan pemasukan sebanyak 10% dan memangkas pengeluaran sebanyak lebih dari 10%.

Walau berbagai perusahaan sudah sadar akan besarnya peluang Industri 4.0, hanya 13% perusahaan-perusahaan di ASEAN yang sudah menerapkan teknologi Industri 4.0. “Terlebih lagi, walaupun mereka antusias terhadap manufaktur secara digital, hanya sedikit perusahaan yang telah mencapai potensi tertinggi dan malah terjebak dalam tahap percontohan, atau ‘pilot trap’ di mana aktivitas sudah berjalan namun mereka tidak merasakan dampak berarti pada laba,” kata Vishal Agarwal, McKinsey & Company Partner and Leader, Southeast Asia, Operations practice.

“Kami menemukan bahwa 78% dari perusahaan-perusahaan yang kami survei tidak maju lebih jauh dari tahap percontohan. Sekitar 30% dari responden bahkan belum mencoba untuk mengembangkan proyek setelah satu atau dua tahun sehabis tahap percontohan,” tambahnya.

McKinsey menemukan enam faktor yang menyebabkan pelannya penerapan Industri 4.0 pada perusahaan-perusahaan yang sedang dalam tahap implementasi. Enam faktor tersebut adalah kesulitan dalam merancang dengan jelas peta jalan untuk bertumbuh pada skala besar, data-data yang tersimpan secara terpisah dan tiadanya satu platform yang sesuai untuk melakukan integrasi, kekurangan orang-orang dengan kemampuan digital untuk menjalankan peta jalan yang telah dirancang, tantangan-tantangan dalam menemukan dan memprioritaskan proyek percontohan dengan nilai bisnis yang jelas, kekurangan pengetahuan dan sumber daya untuk mengembangkan proyek dan infrastruktur, dan kekhawatiran terhadap risiko keamanan siber.

“Alasan utamanya adalah perusahaan tersebut melihat bahwa keuntungan jangka pendek tidak sepadan dengan usaha yang harus dikeluarkan sebuah bisnis untuk melakukan transformasi digital atau kesulitan dalam menggabungkan sistem teknologi informasi, dan kurangnya koordinasi antara unit-unit bisnis seperti TI, pemasaran, dan penjualan,” kata Agarwal.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related