Facebook: Teknologi Bikin Kelas Menengah Indonesia Tak Ada Matinya

marketeers article

Pada tahun 2022, jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia diprediksi akan bertambah hingga 180 juta orang. Angka ini hampir setengah dari total 350 juta orang kelas menengah di Asia Tenggara.

Dengan tingkat pertumbuhan populasi yang begitu tinggi, masyarakat kelas menengah di Indonesia kerap sulit menyelaraskan nilai budaya yang mereka miliki dan perkembangan ekonomi yang terjadi. Studi ini menunjukkan bahwa teknologi digital memainkan peranan penting dalam membantu mereka menyeimbangkan kedua hal tersebut.

“Teknologi digital tidak hanya menyatukan kebhinnekaan Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Tetapi juga merupakan alat penting bagi masyarakat kelas menengah di Indonesia, yang ‘gak ada matinya’ ini, untuk lebih bisa beradaptasi dengan perubahan dinamis yang memengaruhi hidup mereka,” ujar Sri Widowati, Country Director Facebook Indonesia dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (27/9/2018).

Seperti misalnya Fadli, orangtuanya sempat melarang Fadli untuk mengejar passion-nya karena takut kesulitan mendapatkan penghasilan yang baik. Namun, teknologi digital membuka kemungkinan baru bagi Fadli dan memungkinkan ia untuk meluncurkan dan menjalankan bisnis kuenya yang terus berkembang. Awalnya, Fadli hanya membuat kue di tengah kesibukannya sebagai karyawan di bidang pemasaran. Kini, ia menjalankan bisnis tersebut secara penuh waktu, dan berencana mendapatkan lisensi makanan sendiri agar bisa menjual kuenya di supermarket.

Contoh lain, Ninda, seorang ibu rumah tangga asal Malang, Jawa Timur. Cita-citanya untuk memiliki bisnis ritel sempat dilupakannya setelah menikah dan memiliki anak. Namun, teknologi digital telah membuka peluang baru yang bisa membantu Ninda mewujudkan mimpinya, membangun bisnis, dan membuka toko online di Instagram dan Shopee.

“Tren dan perilaku ini berawal dari pengguna kami. Karena itu, kami di Facebook berkomitmen untuk terus mengembangkan manfaat dari teknologi digital bagi masyarakat kelas menengah dan masyarakat Indonesia secara lebih luas, untuk membangun komunitas, memberikan dampak sosial, dan membantu pengguna kami meningkatkan taraf hidup mereka,” tutup Widowati.

Studi ini dilakukan selama periode April hingga Juni 2018, termasuk 80% riset etnografi, 160 peer hangouts, dan riset selama 2.000 jam dengan 12.000 survei daring di Asia Tenggara. Indonesia mewakili bagian terbesar dari sampel penelitian. Sembilan dari 21 kota yang diteliti berasal dari Indonesia (Jakarta, Bekasi, Tangerang, Palembang, Makassar, Malang, Medan, Surabaya dan Bandung).

Related