Galih & Ratna: Everything Old is The New Again

marketeers article
Film-Galih-Ratnax

Masa-masa paling indah adalah masa-masa di sekolah. Begitu yang tergambar dalam romansa Galih dan Ratna, kisah cinta yang sempat menjadi role model anak muda tahun 1970an. Galih dan Ratna merupakan nama tokoh dari film fenomenal Gita Cinta dari SMA yang diperankan oleh Rano Karno dan Yessy Gusman.

Kisah cinta bermula ketika Galih memendam rasa pada Ratna, seorang gadis cantik yang pindah dari kota. Hubungan cinta mereka akhirnya terjalin, meski harus dalam kepura-puraan. Ayah Ratna tak merestui hubungan anaknya dengan Galih.

Kisah sepasang sejoli itu harus rela terkikis oleh tuntutan zaman. Galih dan Ratna sama-sama menerima bahwa mereka berdua tak dapat menjadi seorang kekasih.

Tiga puluh delapan tahun berselang, kisah tersebut telah diadaptasi kembali di zaman teknologi seperti saat ini. Sepeda ontel yang digunakan berubah menjadi sepeda motor, jam analog menjadi digital, pesawat telepon menjadi smartphone. Galih dan Ratna kini tampil sebagai anak millennials.

Semua memang berubah. Akan tetapi, ada kesamaan yang masih teruntai antara film lawas itu dengan versi barunya, yaitu mimpi sepasang remaja yang terhalang tuntutan zaman.

Film remake ini disutradari oleh Lucky Kuswandi yang pernah menyutradarai berbagai film, seperti Selamat Pagi, Malam (2014), The Fox Exploits The Tiger’s Might (2015), dan Ini Kisah Tiga Dara (2016). Film ini mengambil setting tahun 2016 dimana lokasi syuting dilakukan di Bogor dan Jakarta.

Galih & Ratna menjadi salah satu dari sekian banyak fenomena the new old thing yang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia. Gejala everything old is the new again tengah menjelajah tidak hanya dalam film, melainkan juga pada musik, fashion, dan juga teknologi.

Dari segi film, kita tentu ingat dengan kesuksesan film komedi Warkop Reborn yang berhasil menyedot 6 juta pasang mata di Indonesia, menjadikannya sebagai film layar lebar nasional yang paling banyak ditonton sampai saat ini.

Di lingkup yang lebih luas, publik segera akan menyaksikan film remake tahun 1991 Beauty & The Beast yang diproyeksi meraup lebih dari US$ 200 juta selama sepekan penayangannya di bioskop.

Di ranah musik, netizen menaruh simpatik pada single tebaru Rossa berjudul ‘Body Speak’. Di usianya yang tak lagi millennials alias memasuki 38 tahun, Rossa mencoba stay relevant lewat lagu beat berbahasa Inggris dan video klip yang kental dengan unsur dance hip-hop.

Begitupun di jagad teknologi, ketika Nokia merilis ulang versi terbaru dari ponsel ‘sejuta umat’ Nokia 3310 ke publik. Semua ini menggambarkan bahwa segala sesuatu yang dianggap jadul atau kuno, dapat menjadi sesuatu yang baru berkat kreativitas.

Manfaatkan nostalgia

Lantas, apa intisari yang bisa didapat pemasar dari fenomena di atas? Setidaknya, ada dua catatan utama. Pertama, marketer terperangkap pada ide ‘melahirkan sesuatu yang baru’ sebagai dasar inovasi. Padahal, ada sumber daya lawas yang bisa digunakan kembali sebagai pembaharuan.

Kedua, di tengah semakin percayanya brand pada digital marketing, pemasar kadang melupakan pendekatan tradisional yang nyatanya masih terbukti efektif.

Pendekatan yang menawarkan ‘nostalgic value’ pernah dilakukan Coca-Cola lewat kampanye “Share It Forward”. Kampanye ini dirancang untuk memotivasi konsumen millennial agar berbelanja produk Coca-Cola di Walmart. Sebab, selama ini, raksasa minuman soda itu selalu menargetkan kalangan ibu sebagai target promsinya di ritel terbesar Amerika tersebut.

Dalam kampanye yang menjadi bagian dari hari jadinya ke-100, Coca-Cola sekaligus merilis ulang botol ikoniknya yang hanya tersedia di Walmart. Setiap botol bertuliskan nama-nama umum warga Amerika seperti Jennifer, Marc, Billy dan lainnya. Hal ini mendorong konsumen untuk membeli botol Coke lebih dari satu, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, melaikan juga untuk teman-teman, keluarga dan rekan kerja mereka.

Amanda Whittaker, Manager Senior Shopper Marketing Coca-Cola Amerika Utara mengatakan, cara ini dinilai mampu menancapkan brand recall kepada konsumen, khususnya ketika mereka bernostalgia menikmati Coke bersama orang terdekat. Alhasil, kampanye itu berhasil meningkatkan penjualan Coca-Cola di Wallmart sebanyak dua kali lipat dalam sebulan.

“Tidak ada yang lebih istimewa dari meneguk sebuah Coca-Cola dingin bersama teman-teman dan keluarga,” ucapnya.

Memanfaatkan ‘nostalgia’ merek bisa menjadi hal yang disukai oleh konsumen saat ini. Akan tetapi, pemasar harus jeli melihat siapa yang menjadi target audiens dari kampanye berbumbu kenangan masa lalu itu. Sebab, setiap generasi yang berbeda memiliki asosiasi dan pengalaman merek yang berbeda pula.

Sehingga, jika marketer ingin mereknya dapat terhubung ke aspek masa lalu, pastikan setiap kampanye ‘nostalgia’ berfokus pada hal-hal sederhana dan membahagiakan. Sebab, hal-hal tersebut biasanya adalah sesuatu yang dirindukan oleh semua orang.

Seperti film Galih & Ratna ini, dengan kisah yang cukup sederhana, film ini mampu membuat orang bernostalgia tentang masa-masa mereka menjalani kehidupan SMA. Tentu saja, semua emosi dalam film ini diciptakan untuk membuat siapapun yang melihatnya menjadi lebih bahagia.

Related