Geliat Fintech di Indonesia yang Tak Bisa Jalan Sendiri

marketeers article
Ilustrasi. (FOTO: 123rf)

Menarik memang melihat geliat fintech startup di Indonesia saat ini. Mereka berlomba membuat sebuah inovasi yang ternyata memang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Saat ini, walaupun jumlahnya masih sedikit, beberapa fintech startup juga telah meluncurkan produk yang tidak sekadar berfungsi sebagai pembayaran saja.

Pasar fintech Indonesia mulai terasa menghangat pada awal tahun 2015 dengan banyak bermunculannya aggregator produk keuangan dan produk pinjaman berbasis online. Menurut data Indonesia Tech Fintech Startup Report 2016 yang dirilis oleh Asosiasi Fintech Indonesia, bekerja sama dengan Daily Social, pertumbuhan pemain fintech startup meningkat sebanyak 78% dalam dua tahun belakangan, tertinggi periode 2011 – 2012 yang cuma 9% saja.

Menurut Indrasto Budisantoso, CEO Jojonomic,  fintech di Indonesia masih akan berkembang lebih jauh. Peluang fintech di Indonesia paling besar dibanding negara-negara ASEAN lain. Alasannya, orang Indonesia paling sayang dengan smartphone mereka.

Ia juga menambahkan bahwa DNA fintech startup secara alamiah bergerak sangat cepat dan berani bereksperimen. Sementara, hal yang berbeda dialami oleh perbankan yang butuh waktu berbulan hingga tahunan untuk memutuskan sesuatu. Meskipun begitu, Jojonomic tidak berniat untuk berkompetisi secara langsung dengan perbankan.

“Sekarang zamannya kolaborasi. Fintech startup tidak bisa bertahan kalau tidak kolaborasi. Kolaborasi ini penting untuk saling menguatkan,” jelasnya.

Ia menjelaskan, fintech startup tidak bisa jalan sendiri-sendiri karena memang memiliki DNA yang berbeda dengan industri perbankan. Menurutnya, perbankan tradisional sudah matang industrinya dan sudah banyak aturan yang harus diikuti. Sedangkan fintech startup adalah sesuatu yang baru.

Sementara itu, menurut founder DompetSehat, Ibnu Hajar Ulinnuh, memiliki pandangan yang sama dengan Jojonomic. Bahkan, DompetSehat sudah berencana mendekati beberapa pelaku perbankan seperti Bank Central Asia dan Bank Mandiri untuk direct connection.

“Ini masih tahap awal sekali. Kami ingin berdiskusi lebih lanjut ke Bank Mandiri untuk memberi servis ke pengguna sehingga data menjadi reliable, real time, dan lebih aman,” ujar Ibnu.

Bagi pelaku perbankan seperti Bank BTPN melalui produknya, Jenius, tidak melihat kehadiran fintech startup ini sebagai kompetitor. Menurut Irwan Sutjipto Tisnabudi selaku Jenius Value Proposition & Product Head, apa yang perlu dilakukan oleh Jenius adalah melakukan inovasi dengan speed to market yang sama dengan pelaku fintech startup tanpa harus melanggar regulasi. Dia mengistilahkannya dengan ‘bumbu boleh sama, tapi kemasannya beda’.

Namun, dia menegaskan bahwa hal seperti fintech startup perlu diatur dengan benar oleh regulator. Ia melihat, bila tidak diatur, tidak hanya menjadi ancaman bagi sisi perbankan saja, tapi juga institusi keuangan lainnya.

“Jangan sampai sistem perbankan yang sudah dibangun selama puluhan tahun ini dirusak oleh sesuatu yang tidak diatur. Kalau sudah diatur, ya, tidak perlu dianggap sebagai ancaman. Kalau tidak diatur, baru itu berbahaya, baik dari perbankan dan sistem perekonomian juga,” ungkap Irwan.

Meski begitu, pertumbuhan fintech di Indonesia memang semakin cepat. Hal ini membuat pelaku perbankan harus bisa cepat beradaptasi. Tapi, bagaimana pun juga, Jenius adalah produk perbankan, ada rambu-rambu yang harus diikuti selaku perbankan.

“Uang yang ditaruh di bank itu dijamin oleh OJK dan BI. Oleh sebab itu, ketika kami ingin melakukan enhacement dan inovasi produk, OJK dan BI harus tahu. Kami bertugas mengumpulkan dana nasabah, keuntungan buat nasabah ya, produk kami ini dijamin dan aman,” tambah Irwan.

Dus, ketimbang berkompetisi, pemain fintech yang ada –dari mana pun mereka berasal- berpandangan bahwa kolaborasi antar pihak akan selalu dibutuhkan. Perbankan bisa belajar dari para fintech startup dan begitu juga sebaliknya. Sebab, konsumen membutuhkan sebauh layanan dan produk yang memang fungsional tanpa memandang siapa di belakangnya.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related