Gerakan 1.000 Startup Bukan untuk Ciptakan Silicon Valley dalam Sekejap

marketeers article

Indonesia akan menjadi negara digital. Mungkin begitulah target yang hendak dicapai dari pemerintah lewat program 1.000 perusahaan rintisan atau startup. Gagasan ini mengemuka setelah Menteri Komunikasi & Informatika Rudiantara bersama Presiden Joko Widodo mengunjungi Sillicon Valley, Oktober 2015 lalu.

Rasanya belum ada yang menghitung kira-kira apa dampak keberadaan 1.000 startup bagi perekonomian Indonesia. Namun, beberapa pihak, seperti Kementerian Kominfo memperkirakan startup lokal dapat menyumbang 1% Produk Domestik Bruto (PDB).

Lebih lanjut, kemunculan startup ini diperkirakan berkontribusi sekitar 2% dari total populasi Indonesia atau bisa tercipta sekitar 5 juta wirausahawan baru. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan membuat regulasi dan mendorong upaya penciptaan startup.

 Salah satunya adalah Gerakan Nasional 1000 Startup Digital yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan KIBAR. Ajang ini baru saja menggelar ignition di Jakarta untuk kali kedua, tepatnya di Balai Sidang Universitas Indonesia, Minggu, (28/8/2016).
Yansen Kamto, CEO Kibar, menganggap ajang ini menjadi permulaan untuk membangun ekosistem startup digital di Indonesia. “Jangan berbicara Silicon Valley dululah, mereka telah memulai membangun eksositem startup-nya sejak tahun 1960. Kita baru mengembangkan ekosistem,” tuturnya di acara tersebut.
Gerakan 1000 Startup Digital, sambung Yansen, bertujuan untuk menstimulus virus entrepreneur di kalangan generasi muda Indonesia. Kendati, jalan menuju startup yang sukses itu tidaklah mudah.
Nah, di tahap ignition ini, para calon startupreneur mendapatkan materi dari para pembicara yang kompeten di bidang digital dan startup.
“Karena itu, kami di sini ada untuk menempa mereka. Ada lima tahapan yang harus dilalui dalam mempersiapkan startupm yaitu Ignition, Workshop, Hackaton, Bootcamp, dan Inkubasi,” jelasnya.
CEO iGrow Andreas Senjaya mengatakan, startup mesti fokus mencari solusi yang mampu memberikan manfaat bagi banyak orang. “Kalaupun sudah ada yang menciptakan startup dengan ide yang mirip, cari keunikan agar startup yang dibangun berbeda dengan yang sudah ada,” terang Andreas.
Pernyataan Andreas didasarkan pada asumsi bahwa belum banyak startup di negeri ini yang memberkan solusi bagi banyak orang. Sehingga dibutuhkan technopreneur yang tidak hanya ahli dalam membuat aplikasi, namun juga dapat mengubah masalah menjadi peluang.
Data Kemenkominfo mencatat bahwa baru terdapat 1,56% technopreneur dari keseluruhan total populasi di Indonesia. Angka ini lebih rendah dari technopreneur di Singapura (7%), Tiongkok (10%), dan Jepang (10%).
Di sisi teknis, Henky Prihatna, Country Industry Head Google Indonesia menuturkan bahwa startup Indonesia masih enggan untuk meluncurkan aplikasinya dalam bentuk alpha atau beta. Padahal, periode tersebut adalah waktu yang tepat untuk meminta saran dan masukan dari pengguna untuk memperbaiki aplikasi itu.
“Google saja sebelum meluncurkan aplikasi fully launch, kami luncurkan lebih dulu versi alpha dan beta-nya. Jadi, jangan takut untuk meluncurkan aplikasi yang belum sempurna,” katanya.
Setelah menjalani fase ignition, para peserta akan disaring lagi untuk mengikuti tahap workshop. Tidak hanya Jakarta, dua kota lain Surabaya dan Yogyakarta akan melaksanakan ignition kedua dan juga workshop.
Editor: Sigit Kurniawan

Related