Mungkin banyak orang yang belum familiar dengan istilah gig economy. Padahal, istilah itu menjadi tren yang tidak lah baru di negara-negara maju. Tren tersebut terjadi akibat maraknya on-demand worker alias “buruh” siap kerja yang dipesan secara online.
Masih bingung dengan istilah gig economy? Coba simak analogi ini: Bayangkan Anda mendapat deal untuk proyek bisnis menjanjikan dengan nilai ratusan juta, atau Anda membuka usaha baru dan membutuhkan banyak pekerja, Anda mengadakan event besar, atau Anda membutuhkan staf ekstra untuk bisnis Anda di waktu-waktu tertentu?
Untuk memenuhinya, perusahaan membutuhkan staf andal yang siap mengisi pos pekerjaan-pekerjaan tersebut. Sayangnya, sangat sulit mencari pekerja pada saat dibutuhkan dan itu membutuhkan ekstra usaha dan waktu.
Belum lagi perusahaan merasa sulit menemukan pekerja yang terverifikasi dalam daftar pelamar di perusahaan. Lalu apa yang harus dilakukan? Melepaskan proyek tersebut begitu saja, tetap menggunakan staff yang ada, tidak ada solusi lain untuk kebutuhan tersebut? Nah, di sini lah gig economy memainkan perannya.
Sistem ini merujuk pada istilah maraknya pekerja freelance, atau staf yang direkrut untuk proyek-proyek jangka pendek, atau pada saat dibutuhkan saja. Secara tidak sadar, gig economy sudah berkembang di Indonesia, namun kebanyakan saat ini hanya berpusat pada industri transportasi online, ataupun pekerja dengan skill atau keahlian tertentu.
Tren On-Demand Worker
Disebut bahwa tren gig economy memunculkan on-demand workers alias pekerja yang “mau bekerja” saat butuh dan dibutuhkan saja. Majalah Forbes sempat melansir bahwa pada tahun 2030 nanti, generasi millennials tidak akan betah bekerja dengan model 9 to 5 seperti yang tengah kita nikmati saat ini. Tak ayal, sejak sekarang, bermunculan platform mobile yang menawarkan jasa on-demand workers.
Keuntungan menggunakan on-demand workers bagi perusahaan dan pekerja adalah kemampuan mengontrol waktu dan tempat kerja. Perusahaan bebas menunjuk staf yang direkrut untuk menangani proyek atau pekerjaan tertentu, dan pada saat tertentu.
Selain itu, eksplorasi pegawai menjadi nilai plus bagi perusahaan, karena mereka bisa menilai langsung mana staf yang benar-benar berpotensi untuk dijadikan andalan, dan mana yang tidak layak untuk dipertahankan.
Salah satu perusahaan rintisan yang menawarkan jasa on-demand workers adalah Helpster. Startup yang baru saja memperoleh pendanaan awal sebesar Rp 28 miliar dari konsorsium modal ventura Convergence Ventures dan WaveMaker Partners ini tengah mencoba peruntungan di pasar dalam negeri.
Dalam keterangan resminya, seperti dikutip dari CNN Indonesia, Founder & CEO Helspter Mather Ward mengatakan, di Asia Tenggara, terdapat 100 juta pekerja yang berkecimpung di sektor jasa. “Kebanyakan masih menggunakan metode tradisional dari mulut ke mulut untuk mencari peluang kerja baru,” ujarnya.
Startup asal Thailand yang berdiri sejak April 2016 ini menyasar perusahaan logistik, event organizer, dan food & beverage yang biasanya membutuhkan tenaga kerja serabutan pada waktu tertentu. Platfom ini bakal bersaing dengan startup macam Seekmi, Sejasa, dan Beres yang lebih dulu hadir di Indonesia.
Menarik bagi Perusahaan Besar
Pekerja serabutan alias gig workers nyatanya tidak hanya dicari oleh perusahaan kelas menengah atau startup. Perusahaan besar macam Samsung pun mencari talent di bidang TI, para desainer, dan marketer dari platform online on-demand workers, seperti Upwork dan PeoplePerHour.
Dalam setahun terakhir, jumlah proyek yang mencari pekerja serabutan dari platform-platform di atas mengalami peingkatan 26%. Alasan perusahaan besar mulai melirik “pekerja serabutan” karena selain rekrutmen pekerja baru memakan biaya yang mahal, juga mereka memandang gic workers penuh dengan ide-ide segar dan baru.
“Perusahaan besar mulai terbuka untuk memfasilitasi knowledge creation (terciptanya ilmu pengetahuan),” kata Vili Lehdonvirta, sosilog ekonomi dari University of Oxford, Inggris, dikutip dari Fortune.com.
Cathleen Nilson, Head of On Demand Talent Samsung mengungkapkan bahwa alasan pihaknya menggunakan platform semacam UpWork karena mereka dapat memperoleh profil pekerja yang tepat sesuai yang diinginkan. Nilson bilang, selama setahun menggunakan platform tersebut, Samsung berhasil menghemat biaya perekrutan 64% dan mengurangi waktu administratif yang dihabiskan sebanyak 64%.
“Platform pekerja serabutan online sesuai dengan taste dan ekspektasi dari generasi muda para pencari kerja,” kata dia.
Meskipun belum terjadi, Lehdonvirta membayangkan bahwa penggunaan platform seperti Upwork dapat mendisrupsi cara kerja perusahaan. Karenanya, ekosistem baru harus dikembangkan untuk mendukung tenaga kerja freelance jika memang permintaannya semakin meninggi.
Tantangannya, menyatukan tenaga kerja internal dan para freelancer yang bekerja hanya untuk proyek-proyek tertentu tidak lah mudah. Di sisi lain, bagi para freelancer, sistem ini akan menghasilkan gambaran siapa pekerja yang benar-benar cemerlang dan siapa yang tidak.
Bagi seorang freelancer yang terampil, mereka dapat dengan mudah bekerja di manapun dengan fleksibel dan memperoleh penghasilan yang baik. Namun, bagi mereka yang ternyata tidak memiliki keterampilan yang mumpuni, mereka akan merasa amat kesulitan mencari pekerjaan.
Kendati demikian, sistem semacam ini dinilai dapat mengurangi ketidaksetaraan yang terjadi di pasar tenaga kerja. Mereka yang pernah bekerja di proyek-proyek prestisius dan telah menyelesaikan banyak proyek akan dikategorikan sebagai “Pekerja Premium”, sehingga harga mereka menjadi lebih mahal.
Lantas, jika tren ini berlanjut, bagaimana dengan masa depan para pekerja tetap di kantor saat ini? Tak perlu khawatir, sejumlah pihak meyakini bahwa meski perusahaan memang menggunakan online freelancer, namun kehadirannya tidak untuk mengganti karyawan inti mereka melainkan melengkapinya. Lagipula, para pekerja lepas hanya dicari untuk proyek-proyek tertentu.
Artinya, perusahaan saat ini masih membutuhkan karyawan yang datang setiap pukul sembilan pagi dan pulang pada pukul lima sore. Sebab, para karyawan itu sejatinya adalah individu yang membentuk budaya dan karakter perusahaan.
Editor: Sigit Kurniawan