Hak Penyandang Disabilitas Jadi Fokus Perhatian Pemerintah

marketeers article

Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2018 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah, Kementeria PPN/Bappenas diberi mandat untuk mengoordinasikan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Tahun 2018.

RPP ini nantinya akan menjadi acuan bagi kebijakan yang menyangkut peran serta penyandang disabilitas di dalam masyarakat. Termasuk bagaimana negara menjamin pemenuhan hak warga negara secara inklusif.

Berdasarkan data yang dilaporkan Pemerintah RI ke UNCRPD pada tahun 2011, sekitar 21,5 juta atau 8,56% penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas dan merupakan kelompok yang memiliki keterbatasan dalam berbagai sektor, termasuk aksesibilitas pelayanan publik. Dalam kebijakan dan program terkait penyandang disabilitas, seringkali minim keberpihakan kepada penyandang disabilitas itu.

Menurut Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati, kurangnya keterlibatkan penyandang disabilitas dalam penyusunan kebijakan, membuat masih terbatasnya pemahaman para pemangku kepentingan terhadap isu inklusif disabilitas dalam setiap program dan kegiatan.

Karenanya, Bappenas berjasama dengan The German Organization for International Cooperation (GIZ) yang memberikan insight mengenai bagaimana cara terbaik meningkatkan kapasitas dan kemampuan institusi dan individual dalam bidang legislasi. Sekaligus, bagaimana mereka menerapkan konsep perlindungan sosial yang komprehensif sesuai dengan resiko hidup manusia (life-cycle risk).

“Sehingga, RPP Perencanaan dan RIPID yang dirumuskan ini bertujuan untuk menjamin pemenuhan hak dasar penyandang disabilitas, ujar dia disela-sela diskusi yang membahas mengenai finalisasi RPP Perencanaan dan Rencana Induk Pembangunan Inklusif Disabilitas (RIPID) pada Kamis, (22/11) di Double Tree, Jakarta.

Lembaganya memastikan bahwa seluruh rangkaian kegiatan RIPID diikuti langsung oleh teman-teman penyadang disabilitas guna memastikan suara mereka didengar dengan baik. “Sehingga kebijakan dan program yang disusun sesuai dengan ketentuan yang ada,” ungkap dia lagi.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjabarkan berbagai ketentuan terkait penyandang disabilitas, termasuk berbagai hak penyandang disabilitas yang harus dipenuhi baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah

Awalnya, hasil pemetaan yang telah dilakukan menunjukan 15 substansi pemenuhan dan penghormatan hak penyandang sisabilitas perlu diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah. Namun, Vivi bilang, dalam pengembangannya, penyusunan aturan turunan UU No. 8 Tahun 2016 disederhanakan menjadi delapan RPP.

Kedelapan itu di antaranya, 1) mengenai akomodasi layak dalam peradilan, 2) akomodasi layak bagi peserta didik penyandang disabilitas, 3) unit layanan disabilitas dan kesejahteraan sosial, 4) habilitasi dan rehabilitasi sosial, 5) permukiman dan pelayanan publik, 6) insentif dan konsesi, 7) perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi penghormatan dan pelindungan, serta 8) pemenuhan hak penyandang disabilitas.

RPP ini memuat berbagai aturan mekanisme perencanaan yang inklusif disabilitas, RIPID, kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyusun RIPID Daerah, penyelenggaraan sasaran dan strategi implementasi RIPID, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan RIPID dalam mendukung pembangunan inklusif disabilitas.

RPP ini juga akan dilengkapi dengan RIPID yang berfungsi sebagai pedoman bagi seluruh K/L dan Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan dan penganggaran di seluruh sektor.

Berubah pendekatan

Presidium Naisonal Kelompok Kepentingan Penyandang Disabilitas Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Maulani. A. Rotinsulu mengatakan, Indonesia telah mengalami perubahan secara periodik dalam menangani kasus disabilitas di tataran negara.

Pada tahun 1960an, penyandang disabilitas ditangani secara karitatif. Artinya, disabilitas dianggap sebagai ketidakmampuaan, sehingga membutuhkan belas kasih sayang orang lain.

Selanjutnya, penyelesaiaan permasalahan kalangan disabilitas diarahkan kepada intervensi terhadap perbaikan fisik. “Artinya dianggap sebagai sesuatu yang bisa diobati secara medis. Namun, penyelesaian ini membutuhkan dana besar. Meskipun, pada saat itu, penyandang disabilitas terpapar dengan alat-alat kesehatan,” katanya.

Kemudian, penanganan setingkat lebih maju ke tatanan sosial. Mereka masih bisa diberdayakan dengan cara diberikan pelatihan agar dapat berpartisipasi dalam masyatakat. Lalu, fase berikutnya, pemerintah mulao berpikir untuk memperbaiki komunitas atau masyarakat tempat disabilitas itu berada.

“Masyarakat juga diberikan awareness mengenai disabilitas. Ketika aksesbilitas sudah ada, tapi pemenuhan hak asasi mereka masih tertinggal. Hak-hak disabilitas walau dipandang sebagai manusia, namun masih belum terkonsep,” ujar dia lagi.

Berkaca dari transformasi itu, muncullah konsep yang memandang bahwa disabilitas sebagai sebuah keberagaman. Lewat cara itu, seseorang yang cacat fisik, merupakan bentuk keberagaman manusia yang harus diakui keberadaannya.

“Dengan cara ini, stigma yang menyatakan bahwa disabilitas adalah penyakit bahkan bisa menular diharapkan sudah tidak ada lagi,” tambah Vivi.

Apalagi, berdasarkan pengalamannya, masih banyak disabilitas yabng berobat ke sana ke mari, namun hasilnya tak sesuai harapan. Alhasil, waktu yang seharusnya bisa dijadikan sebagai pemberdayaan, habis hanya untuk melakukan tindakan medis,” terang Vivi lagi. 

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related