Imam Prasodjo Bicara Ketimpangan Sosial & Revolusi Digital

marketeers article

Beberapa waktu lalu, Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo memberikan pendapatnya kepada Saviq Bachdar dari Marketeers,  mengenai tiga isu utama yang mesti dipahami bangsa ini. Di antaranya, ketimpangan sosial, revolusi digital, dan dampak dari isu global.

Ada tiga hal utama yang saya rasa mesti menjadi perhatian utama pemerintah dan pemangku kebijakan lainnya di Indonesia. Pertama, ketimpangan sosial yang terus-menerus terjadi dan semakin luar biasa. Kedua, era baru revolusi digital yang merubah semua tatanan interaksi sosial dan politik. Ketiga, perubahan politik gobal yang formatnya relatif baru dan berpengaruh terhadap stabilitas politik dan ekonomi di Tanah Air.

Berbicara soal ketimpangan sosial, salah satu yang menjadi ukuran adalah indeks rasio gini atau koeefisiensi. Indeks tersebut mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk. Akan tetapi, yang paling mencolok dan harus segera diatasi adalah ketimpangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang mayoritas bekerja di sektor agraria, yang bertumpu pada lahan selama hidupnya.

Ketimpangan mencolok itu terjadi saat sekelompok kecil menguasai lahan yang begitu luas di Indonesia. Hal ini berakibat menggusur lahan banyak orang (yang sebagian besar rakyat kecil) serta merusak keragaman hayati.

Mereka, para pemilik modal, secara luar biasa menguasai alat produksi yang menjadi tumpuan hidup hajat orang banyak dan juga menjadi tumpuan dari kehidupan dunia. Sebab, Indonesia adalah negeri yang memiliki hutan tropis yang luas. Pada saat privatisasi dilakukan dan penguasaan yang terlalu ekstrem dikuasai oleh kelompok tertentu, itu berakibat pada tumbuhnya ketidakstabilan sosial.

Pemerintah berupaya melakukan reforma agraria, walaupun dalam implementasinya, tidak lah mudah. Di sisi lain, konsesi hutan dan tambang yang telah dilepas oleh pemerintah terdahulu harus dibuat sebuah kajian khusus. Jangan sampai ketimpangan yang begitu lebar kaena kebijakan-kebijakan tersebut malah menimbulkan ketegangan sosial.

Perlu upaya bersama untuk mendiskusikan Indonesia ke depan. Siapapun yang hidup di Indonesia dengan ketimpangan yang begitu tajam, akan merasa tidak aman.

Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla juga tengah mendorong Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk memberikan bantuan dana kepada desa-desa di Indonesia. Kendati demikian, untuk mengurangi ketimpangan, solusinya bukan semata distribusi uang. Melainkan, harus ada format pemberdayaan apa yang akan dilakukan serta bagaimana caranya.

Upaya-upaya ini hanya akan efektif berjalan apabila jaringan penguatan di tingkat daerah itu tersedia. Upaya pemberdayaan di tingkat masyarakat bawah tidak memberikan dampak maksimal jika pada saat yang maa tidak diberikan akses pasar. Jika mereak tidak diberi kesempatan, mereka akan terus tergilas oleh raksasa bisnis.

Para pelaku bisnis besar jangan beradu dengan kalangan yang masih lemah. Pebisnis sejatinya juga harus memberikan ruang bagi masyarakat kecil agar kemerdekaan ini bisa dinikmati oleh masyarakat banyak.

Jika itu jauh dari semestinya, dikhawatirkan sentimen primodial akan tumbuh lantaran rasa ketidakadilan yang belum tercipta. Saya rasa ini harus menjadi konsentrasi pemerintah utama saat ini.

Saya mengamati, konflik atau wacana yang selama ini muncul hanyalah sekadar symptom. Di bawah itu, ada keresahan yang sifatnya riil. Karenanya, pemerintah harus bisa menciptakan regulasi yang memungkinkan tumbuhnya mobilitas vertikal di kalangan masyarakat bawah dan menengah.

Sementara para raksasa-raksasa ekonomi harus menyadari bahwa jika mereka masih egois, tidak mau memberikan ruang terhadap tumbuhnya ekonomi kecil, yang akan terjadi adalah solusi politik yang belum tentu menguntungkan semua.

Solusi politik itu bisa berupa gejolak revolusi dan kerusahan yang meluas. Hal-hal itu tentu saja tidak menguntungkan semua pihak. Masyarakat kecil pun akan semakin sulit. Hanya saja, luapan kemarahan sering kali menjadi tidak rasional dalam melihat masalah.

Jadi, upaya redistribusi pendapatan harus berasal dari dua belah pihak. Pertama, pemerintah yang tidak membuat kebijakan yang menguntungkan para pelobi kuat. Rakyat tidak bisa melobi. Yang bisa melobi adalah kekuatan bisnis dan elit-elit politik. Rakyat sendiri hanya menonton proses politik. Ketika rakyat tidak bisa tahan lagi terhadap himpitan ekonomi, yang muncul adalah luapan-luapan emosi.

Nah, ini yang bahaya betul. Sebab, masyarakat juga sudah sadar politik. Kesadaran tersebut disebabkan oleh yang saya sebut sebagai isu terbesar kedua, yaitu revolusi digital. Revolusi ini pada dasarnya memungkinkan setiap individu untuk mendapatkan informasi apapun. Sehingga orang bisa mengikuti segala proses politik dan ekonomi yang terjadi secara langsung.

Pada saat orang punya kesadaran baru dan punya akses informasi, maka kesadaran “kelas” –Jika menggunakan istilah Karl Marx- mungkin semakin lumpuh. Mereka merasa dengan mudah merasa menjadi kelompok marginal, karena ada pihak-pihak yang selalu serakah.

Revolusi digital ini adalah revolusi penyadaran. Penyadaran politik, sosial, dan itu bisa menjadi media tumbuhnya gerakan baru untuk menuntut hal-hal yang selama ini hilang.

Korupsi di kalangan elit dengan mudah diketahui rakyat kecil. Kemudian, penguasaan lahan akibat kebijakan-kebijakan yang diduga korup juga semakin transparan. Rasa keadilan pun terberangus. Sementara, banyak petani yang lahannya pun tak sampai setengah hektare. Sebaliknya, ada segelintir kecil orang di negeri ini yang bisa memiliki lahan seluas ratusan ribu hektare di Bumi Pertiwi.

Pola interaksi revolusi digital begitu terbuka. Masing-masing individu bisa ikut berpartisipasi. Kontennya juga sangat beragam. Namun, tidak ada satupun yang bisa mengontrol konten yeng beredar. Setiap orang bukan lagi konsumen berita/informasi, tetapi juga produsen. Mereka menjadi wartawan sekaligus narasumber. Itu perbedaan era digital yang sekarang. Tatanan masyarakatnya bisa berubah kaena itu.

Sebab, dulu, yang namaya informasi hanya berputar pada kalangan tertentu, baik teknokrat maupun akademisi. Sekarang malah dengan mudah mengalir ke semua pihak. Akhirnya bisa menimbulkan gejolak-gejolak sebagaimana yang diinformasikan itu terasa begitu tajam.

Orang menjadi tahu siapa biang keladinya? Siapa yang selama ini diuntungkan? Sementara penumpang-penumpang yang naik belakangan malah diuntungkan secara berlebihan. Ini menimbulkan kecemburuan sosial.

Ketiga adalah situasi global. Paska Perang Dunia II, proses demokratisasi itu merambah secara intensif kemana-mana. Rezim-rezim otoriter seperti Markos dari Filipina, Khadafi dari Libya, dan Soeharto dari Indonesia tumbang. Proses demokratisasi yang tumbuh ini menimbulkan struktur baru di dalam masyarakat. Orang semakin sadar akan hak-haknya.

Di era sekarang, kesadaran orang terhadap kewajiban juga belum tumbuh. Orang lebih banyak menuntut hak dari pada kewajiban sebagai warga negara. Dan situasi ini mewabah di banyak tempat.

Berbarengan dengan itu, muncul alternatif ideologi atau cara-cara baru dalam meluapkan ketidaksukaan. Mulai dari konflik yang terstruktur, hingga saat ini yang marak muncul adalah konflik-konflik berupa teror yang sifatnya random.

Aksi teroris yang terjadi merupakan bentuk baru sebuah konflik. Jika pada konflik konvensional selalu memiliki target yang disasar sebagai korban, namun saat ini siapapun malah menjadi target dari teror itu. Tujuannya adalah untuk menakut-nakuti dan membuat orang cemas.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Tidak ada rumusan jitu untuk menyelesaikan itu semua. Yang jelas, segera kaji secara mendalam hal-hal yang sifatnya struktural, lalu upayakan jalan keluarnya. Selanjutnya, perlu adanya penguatan etika (code of conduct) dalam berdiskusi dan berdialog.

Sebab, revolusi digital merupakan tatanan baru. Apa yang diucapkan seseorang bisa berbuah viral seketika. Saat ucapan viral itu menyinggung orang lain, akan terjadi reaksi balik. Dan, hal-hal seperti itu menimbulkan konflik.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related