Indonesia Bamboo Community Boyong Bambu Naik Kelas

marketeers article

Meraih gelar Master dengan predikat lulusan terbaik dari Hochschule Sudwestfalen-Iserlohn Jerman tak lantas membuat Adang Muhidin pergi meninggalkan Indonesia. Pria berdarah Sunda ini memilih menetap di Jawa Barat dan menjadi tukang bambu. Namun, bukan sekadar tukang bambu biasa, melalui Indonesia Bamboo Community (IBC), Adang bersama rekan membawa bambu Indonesia naik kelas di dunia internasional.

Berangkat dari jalanan, Adang tak pernah menyangka IBC yang ia dirikan bersama sejumlah rekan dapat melenggang di dunia internasional. Tak mudah memang, berbagai pengalaman berkesan pernah mereka rasakan dalam membangun IBC.

Panggung pertama IBC dimulai di gelaran Java Jazz Festival 2012. Kala itu, Kementerian Perdagangan mengundang IBC untuk mengisi salah satu booth di festival tersebut. “Awalnya kami minder melihat para pemain lain yang memiliki hasil produksi lebih bagus. Kami merasa belum siap menjual produk pertama kami saat itu. Alhasil, kami membawa pulang sejumlah produk yang ingin kami tampilkan,” kenang Adang.

Tak disangka, respons positif justru mendatangi IBC. Para pengunjung nampak antusias dan memenuhi booth IBC kala itu. Bahkan, IBC yang semula dijadwalkan tampil satu kali kemudian berkesempatan tampil tiga kali. Berbagai media asing pun berbondong-bondong mendatangi IBC.

“Lucunya, kami tidak memiliki modal untuk kembali ke Bandung sampai ada salah satu pengunjung berwarga negara asing yang menawar Saksofon buatan IBC dengan harga yang cukup tinggi. Kami kemudian bisa kembali ke Bandung dengan menyewa sebuah mobil keluarga. Semua peralatan jadi satu di mobil itu, termasuk lima orang anggota IBC. Nyamuk Jakarta yang terjebak di dalam mobil lantaran hujan besar di luar sana sampai ikut bersama kami ke Bandung,” kenang Adang diiringi tawa. Pengalaman IBC di panggung Java Jazz pun berlanjut selama tiga tahun berturut-turut hingga Java Jazz Festival 2014.

Pengalaman ini bak menjadi magnet kesuksesan IBC. Untuk pertama kali, IBC mendapat panggilan ke Singapura, sayangnya IBC tak memiliki cukup uang untuk membuat paspor. Beberapa waktu kemudian, panggilan mengisi acara kembali datang, IBC pun menjamahi pasar Malaysia. Bahkan, hingga saat ini Malaysia bisa dibilang berlangganan mengundang IBC ke dalam berbagai festival. Perusahaan BUMN terbesar asal Malaysia, Koperasi Pusaka menjadi salah satu klien yang jatuh cinta pada IBC.

“Kami berencana bertemu dengan salah satu pengusaha di Kucing yang menawarkan IBC untuk membuat galeri. Kami terbuka dengan pihak mana pun karena niat awal kami adalah membuat bamboo naik kelas,” kata Adang. Mirisnya, meski bendera IBC telah berkibar di berbagai negara di dunia, IBC belum terlalu kuat di Indonesia. Adang mengaku ia terus mendambakan kesempatan yang lebih besar bagi IBC untuk berkembang di Indonesia.

Sejauh ini, IBC telah meluncurkan 18 jenis produk dari sekitar 120 desain produk yang mereka miliki. IBC telah memiliki 500 anggota yang tersebar di berbagai daerah, seperti Cimahi, Bangka Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Kalimantan.

Menganut model social enterprise, IBC tak mau serakah soal materi. Setiap tahapan proses produksi produk IBC dilakukan di berbagai tempat berbeda. Tujuannya, IBC ingin memberikan kesempatan bagi setiap tukang bambu di berbagai daerah untuk memperoleh penghasilan yang merata. Soal bahan baku, IBC juga tak pilih kasih. Mereka menggunakan seluruh jenis bambu yang ada di Indonesia, tentunya disesuaikan dengan jenis produk yang akan diproduksi.

“Meski bisnis ini berbasis sosial namun cukup menjanjikan. Dalam sebulan, kami hanya memerlukan sekitar 22 bambu, dan satu batang bambu saja dapat diproduksi menjadi 50 jam tangan,” ungkap Adang. IBC pun mampu menyulap sekertariat mereka yang semula terbuat dari bilik bamboo menjadi bangunan berlantai dua yang lebih kokoh meski masih terlihat sederhana.

Kini, IBC mampu memperluas penjualan mereka di 14 negara dengan pasar terbesar di Malaysia. Namun, mimpi IBC tak mulus-mulus. “Mimpi kami sederhana. Sesederhana ingin menaklukan Indonesia karena kami melihat antusiasme masyarakat dan pemerintah Indonesia yang masih minim terhadap kesenian dan kerajinan bambu,” ungkap Adang yang mengaku kecewa lantaran kurang diapresiasi pemerintah sendiri.

Dalam setahun, IBC dikatakan Adang bisa diundang berkali-kali untuk tampil di luar negeri, namun di Indonesia masih begitu jarang. “Mudah-mudahan di bawah kepemimpinan kang Emil, IBC bisa lebih diperhatikan dan kami diberikan banyak kesempatan untuk tampil di Jawa Barat,” tutur Adang. Ia juga membeberkan keinginannya untuk membuat piano berbahan dasar bambu yang merupakan syarat untuk membentuk orkestra bambu pertama di dunia. ­­

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related