Industri Air Minum di Indonesia Tak Pernah Paceklik

marketeers article
Air memang sumber kehidupan. Tak heran, industri yang berhubungan dengan air, seperti air minum, selalu basah setiap tahunnya. Pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatnya masyarakat middle income class, serta semakin sulitnya akses air bersih adalah beberapa faktor yang membuat pasar industri air minum dalam kemasan (AMDK) mengalami peningkatan. 
 
Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) mengatakan, konsumsi AMDK tumbuh 12,5% per tahun selama tahun 2009-2014. Pada tahun 2009, volume penjualan AMDK mencapai 12,8 miliar liter, dan meningkat menjadi 23,1 miliar liter pada tahun 2014. Hingga kuartal pertama 2015 saja, penjualan AMDK menembus 5,8 miliar liter. 
 
Kendati tumbuh, Aspadin mencatat, konsumsi AMDK per kapita di Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain. Indonesia mengonsumsi 91,04 liter per kapita per tahun, lebih kecil ketimbang Tiongkok (118,1 liter) atau Thailand (225,61 liter). Sedangkan, konsumsi tertinggi lainnya diraih oleh Meksiko (254,76 liter), Jerman (143,45 liter), dan Amerika Serikat (121,13 liter).
 
Sedangkan secara volume, konsumsi AMDK menyumbang sekitar 85% dari total konsumsi minuman ringan di Indonesia. Disusul setelah itu, oleh minuman teh dalam kemasan (8,7%), minuman soda dalam kemasan (3%), serta minuman kategori lainnya (3,2%). Sementara itu, nilai pasar industri AMDK nasional pada 2013 mencapai US$ 1,67 miliar (Rp 22,51 triliun), tumbuh rata-rata 11,1% per tahun hingga tahun 2017.
 
Derasnya pasar AMDK itu, menyebabkan investasi di industri ini kian masif. Setelah pada tahun 2013 lalu, PT Asahi Indofood Beverage Makmur mengakuisisi merek Club dari Grup Tirta Bahagia sebesar Rp 2,2 triliun, banyak perusahaan lain yang mencoba peruntungan serupa. Salah satunya adalah Le Minerale, merek AMDK yang diproduksi oleh PT Tirta Frisindo Jaya, anak usaha PT Mayaro Indah Tbk. 
 
Sedangkan, perusahaan yang baru masuk bisnis AMDK tahun ini adalah PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk., yang sebelumnya fokus pada bisnis pakan ternak dan produk hasil olahan ternak. Perusahaan ini disebut-sebut berinvestasi Rp 600 miliar untuk membangun pabrik pemrosesan produk minuman, termasuk air mineral dengan merek Frozen.
 
Saat ini, ada sekitar 500 perusahaan yang bergerak di industri AMDK, yang mana mereka terfragmentasi ke dalam perusahaan-perusahaan berskala kecil dan lokal. Namun, perusahaan skala besar menjadi penguasa pasar AMDK nasional. Menurut riset Goldman Sachs, Aqua dari Grup Danone menguasai 46,7% pangsa pasar AMDK, disusul Tirta Bahagia (Club) 4%, Tangmas (2 Tang) 2,8%, PT Santa Rosa Indonesia (Oasis) 1,8%, Triusaha Mitraraharja (Super O2) 1,7%, dan Sinar Sosro (Prima) 1,4%.
 
Kendati mengalir deras, industri AMDK dihinggapi berbagai tantangan. Pertama, industri AMDK sangat bergantung pada penggunaan plastik, sehingga cukup sensitif terhadap nilai tukar rupiah terkait impor bahan baku plastik. Kedua, distribusi sebagai salah satu komponen utama bisnis AMDK menyebabkan industri ini peka terhadap kenaikan bahan bakar dan upah tenaga kerja (UMP). Ketiga, perusahaan AMDK skala kecil kerap dihadapkan pada fenomena perang harga yang pada akhirnya menggerus margin perusahaan, bahkan membuat mereka merugi. 
 
Keempat, untuk perusahaan skala lokal, masih adanya kendala pada sistem manajemen pemasaran, manajemen distribusi, serta sistem teknologi informasi untuk jaringan logistik. Kelima, kendala terkait regulasi seperti tarif bea masuk biji plastik dan regulasi mengenai pengelolaan sumber daya air yang masih menjadi topik hangat saat ini.

    Related

    award
    SPSAwArDS