Setelah melewati paruh pertama tahun ini, tampaknya industri properti di Indonesia belum menunjukkan performa yang memuaskan. Menurut survei yang dilakukan Savilis, perusahaan riset dan konsultan properti, hampir semua segmen properti mengalami penurunan permintaan. Tidak saja di segmen perkantoran, namun juga di hunian.
Di sektor perkantoran, penyerapan ruang kantor di kawasan Central Business District (CBD) dalam semester I mencapai sekitar 29.000 m2. Angka ini melorot sekitar 30% dari penyerapan sepanjang tahun 2015 lalu. Pada saat yang sama, penyerapan di luar kawasan CBD mencapai sekitar 84.000 m2. Serapan ini hanya 65% dari yang dicapai tahun lalu.
“Akibat minimnya penyerapan, tingkat hunian baik di kawasan CBD dan luar CBD turun. Sampai pertengahan tahun, tingkat hunian di kawasan CBD berada di kisaran 84% dan di luar CBD mencapai sekitar 77%,” kata Anton Sitorus, Director Head of Research & Consultancy Savills Indonesia.
Meski begitu, ada optimisme bahwa tingkat hunian di pasar perkantoran akan naik dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini melihat masih banyaknya proyek perkantoran yang akan akan masuk pasar. “Terutama, di kawasan CBD, potensinya masih akan naik. Diprediksi, pasokan kantor hingga tahun 2020 telah mencapai 2 juta m2,” tambah Leny Soedojo, Director Office Services Savills Indonesia.
Berbeda dengan dua segmen tersebut di atas, di segmen ritel penyerapan ruangnya masih berada di kisaran positif. Penyerapan ruang ritel di sepanjang semester I mencapai 42.000 m2. Padahal, segmen ini dibayang-bayangi oleh melemahnya tingkat konsumsi masyarakat.
Dampak positifnya, tingkat hunian mal di Jakarta bergerak naik, walaupun sedikit, ke kisaran 92%. Hal ini tak urung dimanfaatkaan oleh pengelola mal kelas atas untuk menaikkan harga sewa di semester lalu.
Rosaline Lie, Senior Director Ritel Savills Indonesia menambahkan bahwa pasokan baru akan mulai meningkat secara gradual dalam beberapa tahun ke depan. Sehingga, berpotensi menekan pertumbuhan tingkat hunian. “Akan tetapi diperkirakan juga bahwa potensi penurunan tingkat hunian tidak signifikan sehingga harga sewa diproyeksikan masih akan bertumbuh, atau paling tidak stabil,” katanya.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh pembangunan infrastruktur yang marak di Ibukota akan menjadi landasan yang positif bagi perkembangan di sektor properti. Ditambah dengan insentif dan kebijakan pemerintah yang semakin probisnis serta potensi dampak keberhasilan program tax amnesty bagi likuiditas pasar dan aktivitas jual-beli maupun pengembangan proyek baru sebagai katalis yang bisa mempercepat recovery di sektor ini. Bukan tidak mungkin pasar properti akan memasuki era siklus baru di tahun 2017 yang akan datang, yakni siklus pertumbuhan.
Presiden Direktur Savills Indonesia Jeffery Hong menyimpulkan bahwa meskipun terjadi perlambatan di tahun ini, pasar properti Indonesia khususnya Jakarta masih sangat menarik bagi investor baik lokal dan asing. Sebabnya, pasarnya yang besar dan memiliki potensi untuk jangka menengah dan panjang. Hal inilah yang membuat semakin banyak developer asing mencoba untuk menjajaki bisnis di Jakarta. “Belakangan ini, perusahaan dari Cina dan Korea semakin agresif mengikuti ekspansi dari perusahaan Singapura dan Jepang yang sudah terlebih dahulu menanamkan investasinya disini,” tambahnya.
Di sisi lain, kondisi perekonomian global hingga fenomena Brexit tidak terlalu berpengaruh pada pasar properti di negara ini. Apalagi, di pasar komoditas, harga minyak dunia mulai meningkat meskipun masih rendah dan harga beberapa komoditas ekspor Indonesia seperti CPO, batubara dan timah sedikit membaik.
“Justru, sejumlah kebijakan terkait kemudahan perizinan, kelonggaran pajak dan insentif lainnya serta potensi dampak program tax amnesty yang digulirkan pemerintahan Jokowi, berpotensi menjadi katalis pendorong recovery di sektor properti,” tutur Jeffery.