Industri Teknologi, Perempuan, dan Gender Stereotipe

marketeers article
68230464 freelance developer

Nampaknya di Indonesia masih ada beragam stereotipe terkait dengan peran perempuan dalam dunia kerja. Perempuan masih digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut dan belum bisa untuk menangani beragam peran dan tugas yang selama ini didominasi oleh kalangan pria.

Di industri teknologi, atau kategori e-commerce secara spesifik, berdasarkan data yang dihimpun oleh iPrice Group, hanya 21% perempuan menduduki posisi presiden direktur atau jenjang tertinggi dalam manajemen perusahaan. Kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki di Indonesia memang masih menjadi tantangan. Berdasarkan indeks World Economics Forum, Indonesia berada di posisi ke-10 dalam Indeks Kesenjangan Gender.

Studi dari Peterson Institute di tahun 2016 melakukan riset dari 21.980 perusahaan di 91 negara menunjukkan banyaknya kepemimpinan perempuan di manajemen perusahaan menghasilkan kenaikan profit tahunan 2,7% lebih tinggi dibanding mereka yang tidak. Dengan perbandingan gender yang seimbang di jajaran manajemen atas, partisipasi perempuan dapat memberikan keberagaman ide dan pandangan dalam bisnis

Hal lain yang masih menjadi salah satu permasalahan dalam peran perempuan di dunia kerja adalah kesenjangan terhadap pendapatan. Masih terjadi ketimpangan gaji berlandaskan gender ini. Sebuah penelitian global secara mendalam yang dilakukan Korn Ferry menunjukkan terjadinya perbedaan gaji antara lelaki dan perempuan.

Secara global, lelaki memperoleh gaji rata-rata 16,1 persen lebih tinggi dibandingkan perempuan. Korn Ferry Gender Pay Index menunjukkan bahwa ketika menganalisis posisi pekerjaan yang sama, misalnya level direktur, kesenjangan menurun menjadi 5,3 persen secara global. Sedangkan pada posisi pekerjaan yang sama di perusahaan yang sama, kesenjangan ini semakin menurun menjadi 1,5 persen. Dan ketika karyawan lelaki dan perempuan berada pada posisi pekerjaan yang sama di perusahaan yang sama serta bekerja di fungsi yang sama, maka perbedaan gaji mereka adalah 0,5 persen secara rata-rata.

Pada job level yang sama di perusahaan yang sama, perbedaannya -1,7 persen, yang mana sekali lagi hal ini menguntungkan karyawan perempuan. Ketika karyawan lelaki dan perempuan berada di posisi pekerjaan yang sama di perusahaan yang sama serta bekerja di fungsi yang sama, rata-rata perbedaan gaji ini tetap menguntungkan karyawan perempuan yaitu -4,1 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa akar permasalahan perbedaan gaji antara lelaki dan perempuan bukanlah karena perempuan dan lelaki tidak memperoleh gaji yang semestinya pada posisi pekerjaan yang sama, namun lebih kepada adanya ketidakseimbangan tenaga kerja.

Salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini adalah lebih banyak lelaki berada pada posisi senior manajemen perusahaan di sektor dan fungsi pekerjaan yang bergaji lebih tinggi, sedangkan perempuan lebih banyak berada pada posisi pekerjaan yang lebih rendah di perusahaan.

Nampaknya ke depan, situasi ini akan semakin berkurang. Pasalnya dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, khususnya dunia teknologi mulai kehadiran dengan sosok perempuan yang memiliki peranan penting dalam pengembangan sebuah bisnis. Misalnya, ada Alamanda Shantika (pendiri Binar Academy), Cynthia Tenggara (pendiri Berrykitchen), Diajeng Lestasri (pendiri Hijup), Hanifa Ambadar (Pendiri Female Daily), Christina Suriadjaja (Co-Founder Travelio), dan masih banyak nama lainnya.

Saat ini pun sudah hadir beragam komunitas dan lembaga yang mendukung peran penting perempuan di dunia teknologi, salah satunya adalah lembaga non profit bernama Generation Girl.

Kolektif ini didirikan oleh beberapa perempuan muda dalam industri teknologi. Crystal Widjaja, Mila Alfitri, dan Anbita Nadine Siregar dari Go-Jek. Josephine Bahari dari Blueboots Farm, Janice Widjaja dari Moka Pos. Selain itu juga ada sesosok pria bernama Fadri Attamimi yang turut menginisiasi gerakan Generation Girl.

Generation Girl didirikan pada April 2018 lalu dengan visi memperkenalkan dunia teknologi khususnya Science, Technology, Engineering, dan Mathematics (STEM).

Nadine Siregar yang kesehariannya bekerja sebagai Product Enggineer di Go-Jek menceritakan bahwa inisiatif dari Generation Girl disebabkan oleh masih banyaknya stereotipe terkait peran perempuan. Tidak sedikit juga yang meragukan kemampuannya, hanya sebatas karena Nadine adalah seorang perempuan.

“Setiap saya dapat proyek dan promosi itu banyak yang bilang karena saya mendapatkan itu semua karena saya ini perempuan. Bukan karena saya ini mampu mengerjakannya dan bekerja keras,” jelas Nadine.

Generation Girl menyasar kalangan perempuan yang masih duduk di bangku sekolah, dengan kisaran umur 12-16 tahun. Pilot project mereka akan dimulai pada 17-21 Desember tahun ini. Para siswi ini nantinya akan dimentor oleh beberapa nama yang memang sudah memiliki pengalaman di dunia teknologi.

Generation Girl pun saat ini sudah mempersiapkan program selanjutnya yang akan diselenggarakan pada bulan Juli hingga Agustus 2019. Setiap kelasnya nanti akan diisi oleh 15 siswi, dan terdapat materi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang berkaitan dengan dunia teknologi, programming, dan coding. Khusus untuk program di bulan Juli, Nadine menjelaskan bahwa selain materi di dalam kelas, juga akan diajarkan terkait self defence dan field trip.

“Kami ingin program ini menjadi casual dan bisa break gender streotypes. Program ini ini gratis alias tidak ada biaya sama sekali. Kami tidak ingin permasalahan biaya menjadi alasan bagi calon siswi untuk tidak mengikuti program ini,” tambah Fadri Attamimi.

Anbita Nadine Siregar dan Fadri Attamimi

Bagi Nadine, Generation Girl memberikan pilihan kepada kalangan perempuan Indonesia dalam menentukan pilihan karirnya. Perempuan bisa berkarir tidak sebatas sebagai pegawai kantoran, dokter, dan akuntan, Mereka juga bisa berkarier sebagai developer dan programmer di industri teknologi. Terlebih saat ini dalam pendidikan formal, hal-hal baru seperti bekerja di industri teknologi tidak diperkenalkan.

Terlebih sistem sosial di Indonesia masih menekankan pentingnya berumah tangga ketimbang membangun karir bagi kalangan perempuan. Tidak sedikit kasus, perempuan yang bertalenta dalam dunia karir namun harus berhenti bekerja karena permasalahan rumah tangga. Padahal di industri teknologi, terlebih menjadi seorang programmer dan developer memberikan keleluasaan kerja dengan bekerja secara remote, sehingga tidak perlu setiap hari hadir di kantor.

“Setelah lulus bukan hanya menikah dan punya anak, kalian bisa mengejar mimpi dan berkerja sebagai programmer. Kalau mereka ingin menikah setelah lulus itu tidak masalah, tapi kalau mereka tidak ingin, kami coba tawarkan suatu hal yang baru dan bisa mereka capai,” pungkas Nadine.

Editor: Sigit Kurniawan

Related