Industri Toiletris Masih Pengiklan Terbesar di Televisi

marketeers article

Sejak teknologi digital tumbuh pesat, terjadi pergeseran besar dalam lanskap bisnis di beragam industri. Terjadi evolusi dan revolusi besar-besaran dalam cara orang mengelola bisnis. Bahkan, sebuah industri pun bisa berubah total wajahnya lantaran adannya teknologi digital ini.

Inilah yang terjadi di dunia periklanan saat ini. Era periklanan yang mengandalkan media konvensional mulai ditinggalkan. Lihat saja di sepanjang jalan-jalan utama di perkotaan, baik besar dan kecil. Dulunya, papan bilboard selalu terisi dengan iklan. Para perusahaan periklanan yang fokus pada media reklame pun berlomba-lomba mencari titik strategis untuk mendirikan papan reklame.

Sekarang? Cukup tragis. Papan-papan iklan itu teronggok kosong, tanpa ada gambar iklan. Para perusahaan reklame pun banyak yang gulung tikar. Tingkat konsumsi media di outdoor advertisment hanya di kisaran 41,3%. Tidak hanya di outdoor advertisement, tingkat konsumsi media di beberapa media pun cenderung turun. Sebut saja, di radio (14,8%) dan hampir semua jenis media cetak cenderung terus melorot tingkat konsumsinya.

“Tidak terelakkan lagi bahwa masyarakat sekarang ini cenderung memilih internet sebagai media utama. Terutama, di kalangan anak-anak muda yang lebih suka mengakses informasi lewat gadget-nya,” kata A. Adji Watono, Chairman & Founder Dwi Sapta Group, A Dentsu Aegis Network Company.

Memang, sejak beberapa tahun belakangan ini, konsumsi media berbasis internet terus berkembang. Trennya naik terus sejak tahun 2013 dan sekarang ini, menurut Nielsen, tingkat konsumsi medianya telah mencapai 41,3%.  Hal ini berkat penetrasi internet lewat smartphone yang luar biasa cepat di negara ini. Saat ini, penetrasi internet telah mencapai 132,7 juta atau 51% dari total penduduk Indonesia. Sedangkan penetrasi smartphone di tahun 2016  di kisaran 65 juta pengguna.

Meski begitu, keberadaan internet masih belum menggoyang tingkat konsumsi orang pada televisi. Sekitar 95,7 orang masih mengakses televisi. Memang, ada potensi tingkat konsumsi media akan turun, namun itu masih lama.

Belanja iklan di televisi pun masih terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2014, di kisaran Rp 113 triliun, lalu meningkat menjadi Rp 118 triliun di tahun 2015, dan menjadi Rp 135 trilun pada tahun 2016 lalu. “Hingga dua bulan pertama tahun ini, belanja iklan di televisi telah mencapai Rp 20 triliun,” tambah Adji.

Walaupun masih tinggi, tidak semua industri yang terus menambah pengeluaran iklannya di televisi. Beberapa industri justru mengalami defisit alias turun spending iklannya di televisi. Beberapa industri yang mengurangi iklan di televisi adalah otomotif, properti, pendidikan, dan lainnya.

Sebaliknya, di beberapa industri justru terus menggelontorkan iklan di televisi secara besar-besaran. Industri yang belanja iklannya tertinggi adalah toiletris. Bahkan, dalam tiga tahun berturut-turut, industri ini terus menjadi penyumbang terbesar.

Tahun 2016 lalu, industri ini tumbuh 24% dibanding tahun sebelumnya, dari Rp 16,7 triliun di tahun 2015 menjadi Rp 20,6 triliun di 2016. Sedangkan tahun 2014, industri ini membelanjakan iklan hingga  Rp 15,4 triliun.

Disusul dengan industri beverages yang tahun lalu nilainya Rp 20,2 triliun. Tumbuh sekitar 15% dibanding tahun 2015 yang nilainya Rp 17,5 triliun. Berikutnya, kategori food yang tahun lalu mencapai Rp 17,1 triliun, tumbuh 17% dibanding tahun 2015.

Selain media televisi yang masih menjadi primadona para pengiklan, ada dua jenis media lain yang trennya terus digemari oleh masyarakat. Dua media itu adalah pay TV dan bioskop.  “Jadi, televisi masih tetap menjadi primadona bagi pengiklan. Internet terus meningkat trennya, disusul oleh televisi berbayar dan bioskop,” pungkas Adji.

    Related