Ini Alasan Kenapa Millenials Masih Sulit untuk Menabung

marketeers article
60164975 four young casual friends having fun taking pictures at an urban celebration with a cityscape view in the evening

Dari segala jenis gaya hidup yang dilakukan millenials, mungkin menabung adalah gaya hidup yang paling sulit dilakukan oleh generasi tersebut. Mulai dari gaji yang masih pas-pasan, kebutuhan biar mengikuti tren, menjadi secuil alasan millenials sulit menabung. Riset yang dilakukan George Washington Global Financial Literacy Excellence Center terhadap 5500 millenials menunjukkan bahwa hanya 24% yang mengerti prinsip dasar keuangan.

Menurut Alexa von Tobel, pengarang buku Financially Fearless, literasi keuangan memang tidak diajarkan di sekolah dan kampus jadi bukan bagian dari pendidikan keseharian. Hal ini berdampak  ketika millenials memasuki fase mulai membayar segala sesuatunya sendiri, sehingga tidak mempunyai strategi yang tepat. Setidaknya ada lima kesalahan utama millenials dalam mengelola keuangannya.

Pertama, pengeluaran berlebihan untuk biaya sewa tempat tinggal. Adanya alasan efisiensi dan kenyamanan, membuat banyak millenials yang memilih tinggal sendiri dekat area kantornya. Tapi, menurut studi yang diterbitkan Personality and Social Psychology Bulletin, manusia cenderung melebih-lebihkan kebahagiaan yang didapat dari hal material. Jadi mengeluarkan lebih dari 30% pendapatan untuk menyewa tempat tinggal adalah suatu kesalahan yang seharusnya bisa dihindari.

Menurut Alexa Von Tobel, uang sewa tempat tinggal, belanja kebutuhan sehari-hari, bayar tagihan listrik, air dan transportasi harus masuk dalam 50% dari pendapatan. Jadi kalau kita tetap memaksa memasukkan uang sewa apartemen atau kost sebesar, misalnya, 40% dari pendapatan, maka sebisa mungkin cari pos pengeluaran lain sejumlah 10% pendapatan yang harus dihilangkan, seperti gym membership atau tv cable.

Kedua, tidak punya dana darurat. Dana darurat adalah dana yang kita siapkan sebagai cadangan bila ada keperluan mendadak. Seperti jatuh sakit, membantu orangtua atau perusahaan tempat bekerja tutup beroperasi. Idealnya dana darurat merupakan 3-6 bulan biaya hidup yang dibutuhkan. Biaya hidup dihitung dari rata-rata uang yang dibutuhkan untuk keperluan makan, transportasi, belanja kebutuhan pokok, biaya sewa tempat tinggal, bayar utang atau tagihan rutin. Kita bisa mencicil dana darurat tiap bulan melalui 20% dari pendapatan kita.

Ketiga, hutang kartu kredit yang berlebihan. Hampir semua orang pada dasarnya memiliki utang. Tapi, hutang kartu kredit adalah yang paling beracun karena tingginya bunga yang diberikan. Selain itu, kalau kita sering over limit atau tidak tepat waktu membayar kartu kredit maka ini menjadi catatan yang kurang baik di masa depan bila ingin mengajukan kredit lain. Rencana KPR kita bisa tidak disetujui dan permohonan pinjam modal wirausaha mungkin gagal.

Nah yang keempat, mungin sering dirasakan oleh millenials yang sedang dimabuk cinta, berada dalam hubungan cinta yang menguras keuangan. Biaya gaya hidup tidak cuma dihabiskan sendirian, saat menjalin hubungan cinta, kita juga mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi, bila pasangan tidak memiliki pendapatan sebesar kita. Namun, kita harus waspada kalau ternyata setelah bersama sekian lama, tidak ada perkembangan signifikan dari pendapatannya. Kita terus yang mengeluarkan uang demi kepentingan bersama.

Terakhir, tidak menabung untuk masa pensiun. Millenials mungkin berpikir masa pensiun masih dua puluhan tahun lagi, jadi buat apa menyisihkan uang dari sekarang? Itu sebuah kesalahan besar. Justru kita harus mulai menyisihkan uang saat usia 25 tahun sehingga saat berumur 60 tahun kita sudah memiliki uang pensiun dua kali lipat lebih banyak dari mereka yang baru mulai menyisihkan uang pensiun di usia 35 tahun.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related