Apa Beda Brand Gillette di Indonesia dengan Luar Negeri?

marketeers article

Semakin sering kumis dan jenggot Anda dicukur, semakin makmur bisnis Gillette. Meski menjadi merek legacy, pisau cukur ini terus berinovasi.

Hampir semua orang mengenal Gillette sebagai merek pisau cukur yang didirikan oleh King Camp Gillette sejak tahun 1869. Sebagai pionir pisau cukur modern, nama Gillette sangat populer di seluruh dunia, pun juga di Indonesia. Itulah mengapa kita mengenal kata ’silet’ yang diambil dari pelafalan merek ini.

Sejak tahun 2005, merek Gillette dimiliki oleh raksasa barang konsumer Procter & Gamble (P&G) yang mengakuisisinya senilai US$ 54 miliar. Forbes menyebut bahwa pangsa pasar Gillette di pasar pisau cukur dunia sebesar 65%, dan unggul di hampir semua kawasan, antara lain Amerika, Eropa, dan juga Asia, termasuk Indonesia.

Menjadi pemimpin pasar selama beberapa dekade nyatanya tak membuat Gillette lengah berinovasi. Justru, brand ini fokus menggali insight konsumen guna menghadirkan produk sesuai kebutuhan konsumen di mana mereka berada.

Corporate Communication Manager P&G Indonesia Stephan Sinisuka mengatakan, ada dua hal utama yang menjadi engine growth bagi bisnis Gillette di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun. Pertama, consumer insight. Kedua, inovasi produk.

Terkait consumer insight, Stephan bilang pihaknya kerap melakukan market research untuk mencari tahu kebiasaan masyarakat Indonesia dalam bercukur. Ia mengaku menemukan fakta unik mengenai pisau cukur dan masyarakat Indonesia.

“Konsentrasi utama orang Indonesia dalam bercukur adalah bagaimana kulit mereka menjadi halus. Berbeda dengan rata-rata insight konsumen global yang lebih konsen pada risiko terluka yang bisa terjadi saat mencukur,” ujar Stephan.

Insight itu kemudian menjadi bahan pertimbangan brand dalam menyusun strategi marketing campaign. Hasil insight itu pula diserahkan ke P&G Global untuk kemudian dicarikan produk yang sesuai dengan insight tersebut. Sejak dua tahun terakhir, Gillette yakin bahwa produknya telah diciptakan untuk membuat kulit pria Indonesia menjadi lebih halus.

Gillette saat ini memasarkan tiga varian pisau cukur berbeda segmen, mulai dari pisau cukurnya saja, pisau cukur sekali pakai seperti Gillette Goal dan Blue II, hingga yang bersistem seperti Gillette Fusion, Matrix, dan Flexball. Setiap varian memiliki fungsi dan target segmen yang berbeda. Rentan harganya cukup lebar, dari Rp 6.000 hingga Rp 130.000.

“Pria yang aware terhadap penampilannya, mereka akan bercukur setiap hari. Tipe konsumen seperti ini biasanya mencari pisau cukur yang berkualitas baik, seperti Fusion atau Matrix,” kata dia.

Stephan mengaku bahwa pisau cukur sekali pakai (disposable) adalah yang paling besar pertumbuhannya di pasar, sekaligus mengantongi market size tertinggi. Berdasarkan laporan Nielsen, pada tahun 2016, pertumbuhan volume penjualan Gillette Blue II mencapai 25,9% dan secara value 43,5%. Angka itu terbilang sangat baik bila membandingkan pertumbuhan kategori personal care yang mengalami degrowth selama setahun terakhir.

Namun, bukan berarti Gillette melenggang seorang diri di pasar ini. Beberapa pemain mulai menunjukkan penetrasinya di market, seperti Bic dan Schick. Walau perlahan mulai dibayangi kompetitor, Stephen yakin bahwa Gillette memiliki inovasi produk yang sulit ditiru.

“Kami hadir sejak ratusan tahun. Artinya, banyak inovasi yang telah kami lakukan di industri pisau cukur. Itu kompetensi yang sulit di-copy oleh kompetitor,” akunya.

Meski seakan diperuntukkan hanya untuk laki-laki, pisau cukur sejatinya juga digunakan oleh perempuan. Apalagi, usia penggunanya cukup besar, dari mulai usia 15 tahun hingga 50 tahun. Terlebih, tingkat pubertas seseorang semakin muda, yang mana usia 9 tahun saja sudah mengalami masa menuju dewasa.

“Pisau cukur digunakan saat facial hair tumbuh, yaitu saat memasuki masa puber. Dan itu tergantung kapan masa itu terjadi,” katanya.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related