Investor China Masuk ke E-Commerce Indonesia, Pro Atau Kontra?

marketeers article
43741549 pile of rolled-up currency notes with indonesia rupiah in font.

Alibaba, Tencent, sampai JD yang sudah hadir di Indonesia lewat e-commerce JD.id datang berbondong-bondong ke Indonesia membawa seabreg dolar yang siap disuntikan kepada para pengusaha teknologi lokal.

Fenomena yang bisa sangat positif, namun di satu sisi negatif. “Positifnya ya, perusahaan berbasis teknologi akan tumbuh dan berkembang dengan kehadiran mereka. Pasar menjadi lebih bergairah, plus ada peningkatan dari sisi tenaga kerja. Kedua ada transfer ilmu sehingga talent-talent kita lebih berkualitas. Ketiga memacu investor lokal menjadi lebih baik lagi. Karena tanpa kompetisi akan seperti katak dalam tempurung,” ujar Chief Marketing Officer GDP Venture Danny Oei di Jakarta beberapa waktu lalu.

Terakhir, ada oportuniti investor lokal bisa berkolaborasi dengan investor luar sehingga secara nilai akan mengangkat si investor lokal. Kontranya adalah investor lokal bisa jadi hanya akan menjadi pilihan kedua startup untuk meraup investasi. Siapa tidak tertarik dengan nama serta kibasan uang para raksasa China tersebut.

Plus soal ketakutan akan produsen lokal punya kans tergeser oleh pemain-pemain dari luar. Ketika investor luar masuk, mereka bisa saja memasukan produk-produk dari negara mereka untuk dipasarkan di sini karena segalanya menjadi lebih mudah.

Karenanya investor lokal harus pintar-pintar dalam menyuntikan dana mereka kepada startup. Jangan asal suntik tanpa melihat pasar serta potensinya. Karena soal menanamkan uang kepada startup memiliki banyak parameter.

Skema bisnis startup yang sudah sukses belum menjadi jaminan startup lain untuk berbisnis menggunakan skema sama. “Seperti ada startup on demand tukang. Mereka menggunakan skema sama seperti GO-JEK. Panggil tukang lewat aplikasi. Tidak berhasil karena mayoritas tukang belum adaptif teknologi. Pasarnya sekilas seperti ada, padahal belum siap. Kalau tukang ojek kan bisa siapa saja,” sambung Danny.

Memang sekarang mulai banyak perusahaan teknologi yang memiliki nilai valuasi di atas US$1 miliar atau masuk kategori unicorn. Tapi bukan serta merta pasar aman dalam genggaman. Untuk sustain perlu usaha keras lagi. Seperti contoh e-commerce yang menjual barang serba ada, sampai mobil sekalipun.

Bukan jaminan mereka bisa survive. Menurut Danny, ada yang dinamakan survival of the fittest. Dari banyak pemain dulunya ketika booming, yang masih ada sekarang bisa dihitung dengan jari. Pada akhirnya di sektor e-commerce hanya ada sedikit pemain yang bertahan, itu pun yang memang memiliki size besar baik dari segi pasar maupun valuasi atau nilai dana disuntik.

Menurut Danny dengan semakin terlihatnya pemain-pemain besar, meninggalkan ruang atau oportuniti besar bagi pemain lain yang lebih kecil. “E-commerce serba ada seperti Blibli yang ada di GDP Venture itu kan horizontal. Di masa depan yang akan survive itu yang vertikal. Jual produk sejenis saja, bukan serba ada. Kenapa? Karena konsumen butuh, pasarnya ada, dan mereka fokus pada satu bidang,” terangnya.

Hanya memang jenis e-commerce tipe vertikal ini banyak keterbatasan. Salah satunya soal scale up. Sangat sulit dengan pasar tidak seluas e-commerce raksasa, bisa memiliki bisnis serta valuasi besar.

Pasarnya dinilai di situ-situ saja. Tapi satu jangan salah, karena prediksi Danny bukan tanpa alasan. E-commerce vertikal memiliki kelebihan dari sisi operasional. Mereka dinilai efektif dan efisien serta cenderung tidak mau burning money buat marketing jor-joran maupun promo.

Selain itu secara bisnis mereka sustain dan benar-benar menghasilkan, bukan berkembang karena valuasi akibat kucuran dana investor. “Di GDP seperti Daily Social, Kincir. Mereka begitu saja. Tidak besar. Tapi menghasilkan, pasarnya ada, dan tetap survive. Jadi di masa depan yang seperti itu justru yang akan bertahan,” tutupnya.

    Related