Banyak Marketeer yang Keliru Pahami Generasi Millennials

marketeers article

Melakukan segmentasi konsumen sebelum melakukan targeting adakah kewajiban setiap marketeer. Hal ini merupakan tahap awal sebelum menggelar beragam aktivitas pemasaran. Tentu, tujuannya agar strategi yang dikeragkan berjalan tepat sasaran dan tidak sekadar membakar uang Anda. Salah satu segmen yang tengah mencuri perhatian para marketeer kini adalah millennials. Namun, seberapa kenal Anda dengan millennials hari ini?

Hakuhodo yang memosisikan diri sebagai creative agency telah melakukan riset yang cukup mendalam soal millennials di Asia. Hakuhodo pun menemukan satu hal menarik yang hampir di seluruh marketeer keliru memandangnya. Ternyata, generasi millennials itu tidak bisa dikelompokkan menjadi satu kelompok usia saja.

“Generasi millennials itu adalah generasi yang lahir tahun 80an dan 90an. Mereka tidak bisa disamakan karena memiliki karakter, value, dan kebiasaan yang berbeda,” ujar F.E. Devi Attamimi, Director Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN di panggung AMS 2018 di Rafles Hotel Jakarta, Kamis (6/9/2018).

Devi menyebutkan bahwa antarkeduanya terdapat gap yang mesti diperhatikan marketeer. Ada garis merah yang tim Hakuhodo temukan. Mereka menyimpulkan bahwa millennials kelahiran 80an adalah seorang kurator. Sementara, millennials lahiran tahun 90an adalah pribadi convergenerator. Hal ini yang membuat mereka sangat berbeda.

Misalnya, generasi 80an yang mungkin telah mengalami masa sulit soal keuangan karena pernah mengalami krisis global, termasuk krisis moneter di Indonesia pada tahun 1998, membuat mereka menjadi pribadi yang selektif.

Hal ini bisa kita lihat dari kebiasaan mereka di dunia digital. Sama dengan millennials kelahiran 90an, kelompok ini memiliki album digital mengenai diri mereka. Namun bedanya, album digital mereka sangat terkurasi dengan baik. Banyak dari generasi ini yang melakukan pengecekan ulang hingga tiga kali sebelum mengunggah foto mereka di media sosial.

“Setelah mengambil foto ratusan kali, mereka pun memilih hingga keluar satu sampai dua yang terbaik. Mereka pun punya aplikasi photo editor yang cukup banyak. Bagi mereka, media sosial adalah panggung untuk menampilkan penampilan terbaik mereka,” ucap Devi.

Bagaimana dengan perilaku belanja mereka? Tahun kelahiran ini memanfaatkan betul kanal online dan offline (omni). Mereka siap melakukan riset untuk mendapatkan benefit terbaik dengan risiko terkecil.

Berbeda dengan millennials kelahiran 90an. Mereka yang lahir di tengah kemajuan teknologi, membuat kelompok umur ini lebih percaya diri dan senang membagikan momen otentik yang mereka miliki secara real time dan menunjukkan perannya sebagai survival.

Mereka senang merayakan sebuah keunikan. Foto-foto yang mereka unggah di media sosial pun tanpa filter untuk menunjukkan momen dan muka unik mereka. “Hey look at my weird face”. Kira-kira kata tersebut yang cocok menggambarkan isi hati mereka terhadap kebiasaan tersebut.

Mereka pun sangat terbuka di media sosial. Bahkan mereka bersedia ngetweet soal pasangan ketika lupa tanggal anniversary. Bagaimana dengan kebiasaan berbelanja mereka?

“Kebiasaan online shopping mereka melebihi millennials kelahiran 80an. Mereka punya banyak aplikasi belanja online. Bagi mereka, shopping adalah pengalaman untuk dibagikan. Mereka membuat video unboxing bahkan senantiasa membuat review produk dan bisa menulis banyak hal untuk ini,” lanjut Devi.

Hakuhodo melihat bahwa kelompok ini merasa punya kewajiban untuk menjadi influencer atau pemberi informasi. Kebiasaan belanja mereka pun didorong oleh iklan impulsif.

Bagi mereka tidak ada risiko di dalam berbelanja online. Ketika barang yang dibeli tidak cocok, mereka berpikiran produk itu bisa dijual kembali. Hal ini yang membuat mereka menjadi convergenerator.

Related