Jangan Musuhi Fintech, Tapi Gandenglah

marketeers article
76894549 marketing startup plan fintech

Industri teknologi keuangan (Fintech) di Indonesia sedang tumbuh. Tren ini pun menjadi peluang yang pantas dikembangkan sebagai bagian dari program pemerintah untuk membangun inklusi keuangan dan masyarakat non tunai. Inilah yang dilihat oleh Indra Utoyo, mantan Direktur Digital dan Strategic Portofolio PT Telkom Indonesia yang kini menjabat sebagai Direktur Operasional PT Bank Rakyat Indonesia.

“Fintech mengusung misi untuk menjadi jembatan bagi masyarakat, khususnya yang belum mengakses perbankan, untuk mendapatkan layanan  keuangan. Jumlah orang yang bankable saat ini baru sekitar 60 juta orang. Ini artinya, peluangnya masih besar,” kata Indra.

Saat ini, teknologi keuangan ini, sambung Indra, bertumbuh sejalan dengan perkembangan mobile. Sebagai alat pembayaran misalnya, fintech banyak diintegraasikan dengan smartphone, seperti kartu e-money, QR Code, dan sebagainya.

“Fintech saat ini tak sekadar berhenti pada payment, tapi juga berkembang menjadi layanan lain, seperti lending dan sebagainya. Sebab itu, perbankan sebagai pihak yang berkompetensi sebagai pemberi layanan keuangan selama ini juga harus sadar dan mengadopsi teknologi ini,” katanya.

Indra mengatakan, bank tidak perlu merasa khawatir dengan munculnya para pemain fintech yang menyajikan layanan keuangan tersebut mengingat bank sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari industri itu. Bisa dibayankan bagaimana bila industri ini justru tanpa bank. Tentunya, bisa timpang.

Indra menambahkan, sebaiknya bank justru mengambil momentum ini untuk mengembahgkan metode-metode pelayanan  keuangan yang semakin non fisik dan semakin berbasis digial. “Saat ini, khususnya di kota-kota besar, jumlah orang yang mengambil uang di ATM berkurang. Mereka sudah mulai beralih ke mobile payment. Ini artinya, layanan perbankan sudah mulai digital yang kaya akan platform. Saya prediksi, tiga tahun ke depan, ATM tak akan mengalami pertumbuhan siginifikan lagi,” ujar Indra.

Bagi Indra, kondisi itu justru menjadi peluang bagi pengembangan fintech. Orang Indonesia yang doyan bermedia sosial pun bisa menjadi peluang baru mengintegrasikian layanan keuangan di media sosial.

Saat ini, banyak layanan  keuangan juga diberikan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi (telco). Apakah ini menjadi pesaing baru bagi bank? Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung di industri telekomunikasi, Indra meyakini tidak akan ada persaingan besar antar dua jenis perusahaan ini.

“Pemain bank dan pemain telco harusnya melakukan strategi hybrid. Strategi kolaborsi ini dibutuhkan mengingat kedua jenis perusahaan ini memiliki kompetensi yang berbeda dan justru saling melengkapi,” katanya.

Indra bilang, bicara strategi bisnis itu selalu mengacu pada empat hal, yakni fokus, diferensiasi, kecepatan, dan cost leadership. Baginya, perusahaan telco itu bagus di ranah kecepatan dan cost leadership karena semua layanan dan proses bisnisnya serba teknologi. Sedangkan, bank lebih unggul pada diferensiasi dan dan fokus.

“Telko tak terampil dalam mengelola uang seperti yang dilakukan bank, seperti bunga, pinjaman, dan sebagainya. Telko harus menjadi platform bagi bank dalam memperluas layanannya untuk sebanyak-banyaknya nasabah. Telko harus digandeng untuk menghampiri mereka yang selama ini belum tersentuh oleh layanan perbankan. Jadi, keduanya harus berkolaborasi dalam mengembangkan fintech,” katanya.

Keduanya juga harus bergandengan tangan dengan pemain-pemain fintech yang terbilang lebih kecil. Ketiganya merupakan satu bagian dalam ekosistem fintech. “Pembayaran makin bernilai karena didukung oleh teknologi digital dan teknologi ini bernilai karena didukung oleh big data. Saat ini, center dari kegiatan ekonomi adalah payment. Di titik inilah, pengembangan fintech menjadi penting karena itu menjadi jantung ekonomi,” katanya.

Indra mengingatkan, secanggih apa pun layanan keuangan, haruslah menjawab masalah bagi pelanggannya. Selama pemain fintech tersebut menjawab masalah pelanggan, selama itu dia akan memenangi pasar. Indra menilai kelemahan perusahaan besar dalam hal ini adalah merasa percaya diri mampu membuat sebuah produk dan layanan bagus dan berpikir akan diterima oleh pelanggannya. Padahal, bagi Indra, pelanggan akan mencari produk yang mampu menjawab permasalahan yang mereka hadapi.

Soal regulasi, Indra melihat pemerintah masih menimbang tren yang ada. Untuk mengatur tren terlalu cepat, pemerintah perlu memahami iklim pasar fintech ini yang tidak mudah. Kalau regulasi lambat, adopsi fincteh juga akan lambat atau malah liar. Langkah yang tepat, bagi Indra, adalah memberi ruang inovasi lebih dahulu untuk ditumbuhkan dan kemudian dikelola sedemikian rupa bersama para pemangku kepentingannya.

Indra optimistis, Indonesia bakal membangun fintech yang solid dan ini merupakan journey yang tak gampang. “Yang pasti, Indonesia merupakan negara terbesar dalam ekonomi digital di tingkat regional. Memang, Indonesia masih kalah dibanding China, Korea, India, dan Jepang. Tapi, kita masih di atas negara-negara sisanya. Meski nilainya masih kecil, sebesar 1% transaksinya, kita yakin ekonomi digital akan naik empat kali lipat dibanding ekonomi fisikal. Dan, Ini akan terjadi pada tahun 2020,” tandasnya.

 

    Related