Jangan Pikir Millennial Bisa Beli Rumah di Jakarta

marketeers article
milenial

Millennial menjadi golongan masyarakat yang paling banyak dibicarakan saat ini. Sejumlah laporan menyebut bahwa generasi ini akan menjadi masa depan konsumen dunia, termasuk di Indonesia. Kendati demikian, ada kekhawatiran bahwa generasi milenial tidak dapat membeli hunian di kemudian kelak.

Setidaknya, ketakutan tersebut tercermin dari survei Rumah123.com per Desember 2016 yang menyatakan bahwa 94% kaum milenial usia 23-37 tahun memiliki kisaran gaji dibawah Rp 12 juta rupiah. Menurut studi tersebut, gaji sebesar itu hanya bisa mencicil rumah kurang dari Rp 3,6 juta per bulan.

Berkaca dari data tersebut, tentu agak sulit bagi milenial untuk memperoleh rumah. Mengapa demikian? Untuk kasus Ibukota, 95% harga suplai properti sudah di atas Rp 480 juta. Bahkan, studi menyebut bahwa hanya ada 1,76% suplai rumah di Jakarta yang harganya di bawah Rp 300 jutaan.

Sumber data: Rumah123.com

Harga rumah Rp 400 jutaan itu hanya mungkin bisa dibeli oleh milenial berpenghasilan lebih dari Rp 12 juta, yang jumlahnya berkisar 6% dari total populasi milenial Jakarta.

Berdasarkan data kependudukan, jumlah milenial di ibukota sendiri adalah 30% dari total penduduk Jakarta, atau sekitar tiga juta jiwa. Jika dikurang 6%, maka ada sekitar 2,8 juta jiwa kaum milenial di Jakarta yang bakal kesulitan membeli rumah apabila sampai saat ini, tidak ada mekanisme pembiayaan rumah yang menjanjikan bagi kalangan tersebut.

Terlebih, harga properti (rumah dan apartemen) terus melonjak setiap tahun dengan laju kenaikan 20%. Sedangkan kenaikan penghasilan hanya 10% per tahun.

“Saat ini, temuan kami hanya 17% kaum milenial yang mampu membeli rumah di Jakarta. Persentase milenial yang mampu membeli rumah di Jakarta menurun rata-rata 3,5% seiring bertambahnya tahun,” kata Ignatius Untung, Country Manager Rumah123.com di Jakarta.

Untung bilang, kondisi ini jika dibiarkan berlarut-larut, membuat milenial berpenghasilan Rp 4 juta akan terancam kehilangan daya beli rumah pada tahun 2018. Kemampuan mencicil mereka hanya Rp 1,3 juta pada tahun 2018. Sementara cicilan KPR sudah menyentuh Rp 1,33 juta per bulan.

Publik pun bertanya, apakah mungkin ada rumah yang harganya bersahabat bagi millennial di Jakarta? “Ada, tapi tak banyak. Temuan tim kami hanya 5% properti (di Jakarta) yang bisa diakses oleh daya beli kebanyakan milenial saat ini,” paparnya.

Joint income (penghasilan bersama) untuk pasangan yang sudah menikah pun belum bisa mendongkrak daya beli millennials membeli hunian di Jakarta

Untung mengatakan, di tengah kampanye putaran kedua Pilkada DKI, isu ini harus menjadi perhatian serius bagi cagub-cawagub yang tengah besaing, baik Anies Baswedan ataupun petahana Basuki Tjahja Purnama. Video open challenge pun dibuat untuk menarik perhatian paslon tersebut.

“Gubernur terpilih sudah seharusnya menyiapkan kebijakan yang bisa membantu para pemilih terbesarnya ini (para milenial) untuk bisa memiliki hunian, baik rumah tapak maupun apartemen,” ujar dia.

Jika diamati, suara millennial cukup mempengaruhi suara kandidat yang bersaing di pertaruhan politik, entah di level gubernur maupun presiden. Kita harus mengakui kemenangan Joko Widodo pada Pemilu 2014 lalu didorong oleh dukungan kuat para milenial. Mereka berhasil mengumandangkan “Salam Tiga Jari”, membuat lagu, dan video yang viral dan fenomenal.

Namun, amat disayangkan apabila sikap menggebu-gebu para millennial hanya dimanfaatkan untuk mendongkrak suara, tanpa memberikan solusi atas apa yang sebenarnya menjadi anxiety & desire mereka. Isu daya beli rumah bisa menjadi pemicu awal dari sederet problematika yang melingkupi kaum ‘broke’ millennial ini.

Apalagi, milenial menempati jumlah cukup banyak sebagai pemilih di DKI Jakarta. Berdasar data kependudukan Jakarta per 2015 saja, jumlah pemilih dari golongan ini setidaknya 30% dari total pemilih.

Memang, selama putaran kedua Pilkada Jakarta, para pasangan cagub dan cawagub telah berbicara mengenai kebutuhan hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pekerja informal, dan golongan bawah lainnya. Akan tetapi, tak ada yang spesifik membahas mengenai rumah untuk para millennial.

Posisi millennial sebenarnya cukup “galau”. Kebanyakan millennial di Jakarta adalah pekerja dengan penghasilan cukup, namun belum bisa disebut tinggi. Di satu sisi, mereka tidak masuk dalam kualifikasi MBR. Di sisi lain, mereka juga belum mampu mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di bank-bank pada umumnya.

“Kebijakan pemerintah masih fokus pada kelas berpenghasilan rendah, padahal masalah tempat tinggal juga dirasakan oleh kelas menengah, hususnya millennial dalam hal ini”

Karena itu, open challenge digagas untuk memberikan keterbukaan data terhadap permasalahan ini. “Kami membuka semua data yang dibutuhkan terkait masalah ini seperti data penghasilan menurut usia, ketersediaan listing yang sesuai dengan penghasilan, dan data lainnya di situs kami,” ujar Untung lagi.

Pertanyaannya, siapa dari cagub dan cawagub DKI Jakarta saat ini yang paling responsif terhadap isu tersebut?

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related