Jawaban Femina Akan Masa Depan Media Cetak di Indonesia

marketeers article
Paska raksasa media cetak nasional Kompas Gramedia Group menutup sejumlah majalah dan tabloitnya pada Oktober tahun lalu, pertanyaan besar pun mengemuka perihal masa depan media cetak di Indonesia. Femina Group, salah satu pemain besar di industri ini pun punya pandangan tersendiri seputar nasib media cetak.
 
Chief Community Officer Femina Group dan Editor in Chief Majalah Femina Petty S. Fatimah kepada Marketeers mengatakan, industri media memang tengah dan terus berubah. Hal ini tak lepas dari kemajuan teknologi sebagai driven change terbesar yang mengubah cara konsumen mengakses media. Kendati demikian, Petty bilang, media cetak bertema gaya hidup masih memiliki pembaca setianya apabila dibandingkan dengan media cetak surat kabar atau news yang perannya mulai tergantikan media digital.
 
“Perubahan terbesar terjadi pada media surat kabar yang mengutamakan kecepatan. Alhasil, perannya lambat laun tergantikan dengan kehadiran media news digital. Namun, untuk media gaya hidup, karakter konsumennya masih menginginkan sesuatu yang bisa dipegang, atau gambar yang bisa mereka lihat dalam lembaran kertas,” kata Petty seusai menjadi pembicara di Jakarta Marketing Week beberapa waktu lalu.
 
Petty melanjutkan, di tengah kemajuan teknologi, sudah selayaknya media baik majalah maupun koran untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Caranya, dengan mengonversi konten cetak ke versi digital. Setidaknya, itu yang dilakukan beberapa majalah di bawah naungan Femina Group saat ini. “The content is king, but the convertion is the kingdom. Femina Group telah melakukan digitalisasi dengan menciptakan situs untuk masing-masing majalah, mengembangkan aplikasi mobile, media sosial, maupun menghadirkan e-magazine yang bisa diunduh konsumen lewat piranti mobile-nya,” paparnya.
 
Tak hanya itu, Petty mengaku pihaknya gencar menjaring berbagai komunitas untuk memperkuat loyalitas pembaca. Ada tujuh komunitas yang dibentuk Femina, yaitu komunitas wirausahawati, perempuan karier, pecinta kuliner, klub penulis, penggiat fesyen, hijabers, dan traveler. Lewat komunitas-komunitas itu, Femina kerap melalukan aktivitas bersama, seperti talkshow, seminar, bazar, hingga traveling.
 
“Dengan mengutamakan komunitas dan konversi ke digital, saya yakin industri media cetak dapat bertahan dari pengaruh teknologi. Ya, paling tidak, kondisi ini dapat bertahan setidaknya sepuluh tahun ke depan,” paparnya.
 
Petty beranggapan, meskipun penggunaan media digital mulai berkembang di kalangan masyarakat, akan tetapi masih banyak pembaca yang mengandalkan media cetak sebagai sumber informasi. Hal itu, katanya, tidak terlepas dari status masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat negara berkembang. “Di negara maju seperti Amerika Serikat, industri surat kabar cetak memang mengalami degradasi yang tajam. Namun, Indonesia belum akan menyamai AS. Tantangan lainnya bukan perihal digitalisasi saja, melainkan masyarakat kita pada umumnya kurang gemar membaca,” cetus lulusan megister komunikasi dari Universitas Indonesia ini.
 
Meski optimistis, Petty enggan mengomentari apakah pendapatan iklan media cetak juga menurun seiring menjamurnya media digital. Namun, yang pasti, katanya, iklan-iklan berbentuk sponsor event tengah meningkat beberapa tahun ini. Di sisi lain, Asosiasi Surat Kabar dan Percetakan Dunia atau World Association of Newspaper and News Publisher (WAN-IFRA) mencatat, pendapatan iklan media cetak di Indonesia justru meroket lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Sebaliknya, di banyak negara seperti Singapura malah menurun.
 
Didirikan tahun 1970 oleh keluarga Alisjahbana, Femina Group kini menaungi 18 majalah yang sebagian besar disegmentasikan untuk kaum perempuan, di antaranya Majalah Dewi, CitaCinta, Grazia, Cleo, Pesona, AyahBunda, Parenting, Estetica, Gadis, Reader's Digest, Men's Health, Women's Health, Best Life, dan Femina. Majalah Femina sendiri merupakan majalah perempuan pertama di Indonesia yang terbit pertama kali pada tahun 1972.

Related