JSPT: Kelola Bisnis Properti Dengan Bijaksana

marketeers article

Situasi dan ketidakpastian sektor properti selama tahun 2014 nampaknya dibaca jelas oleh PT Jakarta Setiabudi Internasional Tbk (JSPT). Pasalnya, pada tahun lalu perusahaan ini tak banyak mengeluarkan produk baru. Perusahaan dengan kode saham JSPT itu melihat investor yang masih was-was akan menyebabkan volume penjualan tak akan setinggi capaian tahun-tahun sebelumnya. Setelah situasi politik dan arah kebijakan pemerintah mulai terlihat, JSPT pun bersiap untuk menyambut hujan investasi di sektor properti dengan mengeluarkan sejumlah produk baru pada tahun 2015 ini.

“Kami sudah mengantisipasi tahun politik kemarin dengan tidak banyak mengeluarkan produk baru. Pada tahun 2014, kami lebih banyak melakukan perencanaan dan persiapan yang hasilnya akan kami wujudkan pada tahun 2015 ini,” terang Margiman.

Tahun ini, ada beberapa produk yang akan diluncurkan JSPT. Di kawasan Jakarta, ada dua proyek apartemen dan dua kluster perumahan yang akan dikeluarkan JSPT. Selain itu, perusahaan juga akan meluncurkan proyek mixed-use di Yogyakarta.

Meski menyisakan banyak peluang, Margiman mengingatkan, tahun 2015 bukan tanpa tantangan. Salah satu aspek yang bisa menjadi kendala bagi sektor properti adalah tingginya financing cost. Selain bunga yang meningkat, beberapa aturan pemerintah tentang investasi juga semakin ketat sehingga pengembang perlu melakukan berbagai penyesuaian.

Pada beberapa bulan belakangan ini, perbankan tanah air juga mengalami pengetatan likuiditas yang menyebabkan tingkat suku bunga yang tinggi. Hal ini akan membuat masyarakat dengan dana terbatas lebih berhati-hati dan mengurangi aksi-aksi spekulatif. Bila kredit yang diambil mengalami kemacetan, bunga tinggi menjadi konsekuensi yang tak bisa dihindari.

Dari sisi pengembang, situasi ini akan menjadi filter bagi pengembang-pengembang dadakan yang oportunis. Mereka masuk ke sektor properti karena tergiur keuntungan besar, padahal tak memiliki modal cukup dan pengalaman yang memadai. Ia menambahkan para pengembang harus bisa belajar dari krisis 1998. Saat terjadi booming properti, orang berbondong-bondong masuk ke sektor properti. Mereka meminjam uang berlebihan dan berharap pemasukan dari konsumen bisa mengganti biaya pembangunan. Pola pikir seperti itu tak bisa lagi digunakan.

Di sisi lain, pencabutan subsidi BBM yang dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi juga perlu diperhatikan. Menurut Margiman, kenaikan harga BBM, TDL listrik, dan lain sebagainya bisa mendorong peningkatan sebesar 15% hingga 20% harga properti. “Namun, kenaikan itu masih bisa diserap oleh pasar sehingga tak terlalu menjadi masalah. Apalagi, pemerintah baru-baru ini menetapkan harga BBM dan semen turun. Jadi kenaikannya masih bisa direm,” kata Margiman.

Dalam melakukan strategi financing, Margiman menuturkan ada dua cara yang bisa digunakan pengembang properti. Pertama, usahakan untuk membeli tanah dengan menggunakan uang sendiri. Meskipun harus dibeli secara bertahap, jangan membeli tanah dengan uang pinjaman, apalagi perbankan sudah jarang memberi pinjaman untuk pembelian tanah. Kedua, setidaknya 30% dari biaya mendirikan bangunan harus berasal dari modal perusahaan, bukan bersumber dari pinjaman.

Related