Kahiyang-Bobby “versus” AdAsia 2017

profile photo reporter Taufik
Taufik
08 November 2017
marketeers article

Hari ini, tanggal 8 November 2017, ada “pertarungan tidak imbang”: pemberitaan pernikahan Kahiyang dengan Bobby dan pembukaan acara AdAsia 2017. Event pertama berlangsung di Solo, dan event kedua berlangsung di Bali. Berdasarkan pengamatan pemberitaan di media konvensional, termasuk versi online, dan social media, event pertama jauh lebih unggul.

Meski berlangsung –seperti dikatakan Presiden Jokowi- di “kampung”, event pertama telah berhasil merebut perhatian luas masyarakat. Ini bukan hanya karena Kahiyang adalah puteri satu-satunya Presiden Jokowi tapi juga variasi content yang ada. Mulai dari komentar dan aktivitas pejabat negara atau tokoh masyarakat yang terlibat, tapi juga aktiIvitas dari para “penggembira.”

Kehadiarn dan keterlibatan sejumlah pejabat negara dari berbagai lapisan dalam beberapa tahapan ritual pernikahan, sudah merupakan sebuah content tersendiri. Apalagi kalau kemudian ada hal-hal lain yang dilakukan mereka di luar tahapan ritual pernikahan. Misalnya wisata kuliner yang dilakukan oleh pejabat negara di sela-sela mengikuti tahapan ritual pernikahan tersebut.

Variasi aktivitas ini tentu “membantu” para jurnalis yang meng-cover pernikahan Kahuyang – Bobby. Bagiamanpun juga mereka harus menemukan variasi sisi-sisi menarik yang layak ditampilkan dalam pemberitaan. Dalam era pemberitaan 24/7 pemberitaan, para jurnalis mesti punya bahan yang sebanyak mungkin untuk ditulis dengan berbagai sudut yang berbeda.

Hal lain yang juga membantu adalah keputusan Presiden Jokowi untuk tidak sepenuhnya cuti dalam pernikahan puteri kesayangannya itu. Ada saja kegatan kenegaraan yang dilakukan oleh Presiden, di sela-sela jeda kegiatan tahapan pernikahan. Mulai dari memonitor langsung kemajuan tahapan pembangunan, hingga interksi langsung dengan warga.

Bagimana dengan Ad Asia 2017? Guy Kawasaki yang merupakan marketeer yang punya pengalaman kerjasama panjang dengan Steve Jobs, menjadi keynote speaker dalam pembukaan pertemuan tahunan internasional praktisi media dan periklanan serta perusahaan pemasang iklan. Artinya, kalau dari komposisi yang hadir, mestinya bisa menghasilkan pemberitaan yang ramai.

Berbeda dengan event yang pertama, sejak jauh-jauh hari, panitia penyelenggara sudah berusaha keras untuk mengkampanyekan event kedua. Ini bukan hanya menyangkut topik yang di cover, tapi juga crowd makers yang ada di event kedua. Selain Guy Kawasaki ada nama-nama bersar lain yang terlibat, seperti Kofi Annan, David Coulthard, Shelina Janmohamed hingga Sri Mulyani.

Berbagai media di Indonesia sebetulnya aktif terlibat mendukung kegiatan tersebut. Mulai dari wawancara dengan panitia penyelenggara, pemberitaan pers conference, sponsor dalam rangkaian acara yang berlangsung 3 hari tersebut hingga menjadi pembicara. Singkat kata, mereka semua sudah kerjasama bahu membahu demi suksesnya acara.

Lalu apa yang membedakan diantara kedua event tersebut? Kolaborasi all out dalam pemberitaan! Di event pertama, yang namanya kolaborasi pemberitaan oleh berbagai komponen yang terlibat di rangakain acara pernikahan terlihat jelas.

Beberapa pejabat negara yang aktivitasnya menarik perhatian jurnalis, ternyata juga aktif dalam aktivitas di social media. Artinya mereka tidak mau hanya menggantungkan pada jurnalis agar event pertama menjadi event yang banyak dibicarakan, tapi juga ikut terlibat mengkampanyekan melalui social media mereka sendiri. Dan pejabat negara bukan hanya satu-satunya komponen dari event pertama yang juga aktif terlibat dalam pemberitaan, tapi bahkan juga para relawan Presiden Jokowi.

Di era sharing economy, sudah terjadi kolaborasi diantara berbagai pelaku value creation dalam berbagai bidang. Mulai dari angkutan, akomodasi hingga pemyedian informasi. Tapi kebanyakan orang lebih suka menyaksikan atau kemudian paling-paling hanya men-share berbagai sharing economy dibanding kemudian melakukan sendiri atau ikut terlibat langsung.

Di sejumlah kasus pemasaran, terbatasnya keterlibatan luas terjadi karena tidak ada perasaan “senasib sepenanggungan”. Banyaknya bahan bagi terciptanya perasaan “senasib sepenanggungan” seperti creative destruction yang terjadi di sejumlah industri, seringkali belum menjadi driver yang kuat. Bahkan ketika creative destruction sudah mulai mengurangi kue yang sebetulnya bisa dimakan, juga belum menjadi pendorong perasaan senasib sepenanggungan dan mengambil langkah bersama.

Boleh saja berlaku sinis ketika Apple menolak permintaan penegak hukum di Amerika untuk membantu mengakses data percakapan tersangka terorisme yang meninggal. Ternyata langkah Apple itu didukung oleh perusahaan teknologi lainnya, termasuk para pesaing kuatnya. Karena data privacy sebagai sebuah value yang ditawarkan oleh perusahaan teknologi tersebut, teracam kelangsungannya.

Sebetulnya, dunia periklanan juga menghadapi perubahan besar. Mulai dari materi hingga country of origin dari media periklanan maupun iklannya sendiri. Tapi kerasnya “direct competition” diantara stakeholders periklanan seperti meminimalkan perasaan senasib sepenanggungan dan mengalahkan perlunya kolaborasi kampanye atau pemberitaan menghadapi “ancaman kelangsungan”.

Terus terang, untuk mengkampanyekan ancaman kelangsungan bersama itu tidak mudah. Maaf, kalau terkesan “berpromosi”. Perusahaan Harris Thajeb atau Maya Watono, tokoh yang berperan luas dalam penyelenggaraan Ad Asia 2017, kadang-kadang menjadi saingan perusahaan penulis, MarkPlus, dalam “marketing spending”.

Namun itu tidak menghalangi kerjasama, termasuk untuk bersama-sama saling mengkampanyekan bahkan perusahaan masing-masing seperti melalui MarkPlus Conference selama bertahun-tahun! Termasuk di MarkPlus Conference tahun ini yang akan berlangsung 7 Desember 2017 di Pacific Place Jakarta dengan tema “Navigating the Unpredicatbles”. Kebetulan selain bisa menemukan perasaan senasib sepenanggungan, juga karena ada prinsip friendship above business.

    Related