Kapabilitas Dinamis Indonesia

marketeers article

Oleh Jacky Mussry
Deputy CEO of MarkPlus, Inc.

Indonesia berada dalam tahapan sangat dinamis. Kini semua terkoneksi dan dunia menyatu. Informasi bisa tersebar seketika ke manapun. Kedinamisan Indonesia semakin terasa pada akhir tahun 90-an yang mereformasi Indonesia menjadi negara demokrasi sebenarnya. Perpolitikan bergejolak, kekuasaan bergeser, perekonomian makin sulit dikelola, pasar semakin terbuka, serta kompetisi menjadi ketat dan keras. Sedikit yang bisa bertahan dalam kondisi sengkarut ini. Kompetisi menjadi abstrak, hak-hak istimewa hilang, dan tatanan sosial-budaya melebar bentang kontinumnya.

Manajemen stratejik jarang digunakan dalam menganalisis republik ini, khususnya dengan konsep kapabilitas dinamis karya Teece, Pisano, dan Shuen. Padahal banyak pertanyaan strategis: Bagaimana Indonesia bisa bertahan di panggung dunia? Apakah negara kita memiliki kapabilitas dinamis yang merupakan prasyarat agar tetap relevan di tingkat global? Apakah Indonesia berkompetensi?

Konsep destruksi kreatif karya ekonom legendaris Joseph Schumpeter sangatlah relevan. Jika pemerintah tidak melakukan destruksi kreatif terhadap berbagai kompetensi negara yang usang maka akhirnya negara tidak dapat membentuk keunggulan kompetitif baru. Sejumlah survei mengindikasikan posisi Indonesia masih kurang bagus seperti yang terlihat dalam Human Development Index, Global Competitiveness Report, Ease of Doing Business Index, dan sebagainya.

Presiden Joko Widodo kesal menyikapi tingkat kompetensi negara. Penyebabnya antara lain negara masih diurus birokrat atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak kompeten, sering diobok-obok sejumlah politisi yang inkompeten terutama aspek kenegarawanannya, dan liarnya sejumlah organisasi yang tidak sejalan dengan platform NKRI. Mana bisa negara besar seperti ini maju cepat dan lincah kalau banyak sekali liabilities-nya?

Kapabilitas dinamis terdiri dari dua aspek. Pertama, ‘dinamis’ yaitu kapasitas untuk selalu dapat memperbarui berbagai kompetensi agar negara tetap kongruen dengan lingkungan global yang selalu berubah. Kedua, ‘kapabilitas’ yaitu peran kunci manajemen stratejik negara dalam melakukan adaptasi, integrasi, rekonfigurasi berbagai kecakapan, berbagai sumberdaya, serta sejumlah kompetensi fungsional agar terus bertahan dalam perubahan lingkungan.

Keunggulan kompetitif negara mengacu pada proses manajerial-organisasionalnya yang juga ditentukan oleh posisi sumber daya berwujud dan nirwujud yang dimiliki, serta bertumpu pada langkah-langkah pilihan para pemimpin terdahulu dan kini yang membentuk trayektori perjalanan negara.

Koordinasi dan integrasi antar-lembaga di Indonesia masih lemah karena ego sektoral. Sangat sulit jika dua atau lebih kementerian harus berkoordinasi, apalagi kalau masing-masing kementerian beda menkonya. Ini pernah dirisaukan Kuntoro Mangkoesoebroto. Negara sekompleks Indonesia perlu kapabilitas koordinasi dan integrasi mumpuni agar proses pemerintahan efektif dan efisien.

Negara kesatuan menjadi istilah saja jika negara berjalan dengan koordinasi dan integrasi yang lemah. Bukan tidak mungkin celah ini dipergunakan sementara pihak untuk memecah republik ini. Karenanya, para petinggi pemerintah harus rajin bertemu, berdiskusi secara produktif, terkoneksi dengan elemen-elemen masyarakat, serta menghasilkan solusi dan kebijakan yang mengakomodasi kondisi terkini. Itu perlu untuk memperkuat kapabilitas dinamis. Kalau tidak, maka bersiap-siaplah menghadapi berbagai gejolak tak terprediksi dan sulit dikendalikan.

Aset Indonesia luar biasa besar. Namun apakah aset tersebut spesifik? Apakah hanya kita yang punya? Adakah aset spesifik yang bisa dipergunakan untuk menciptakan diferensiasi? Apakah kita mempunyai teknik dan teknologi untuk mengolah aset-aset tersebut? Apakah teknik dan teknologi kita juga unik? Adakah aset-aset pendukung lainnya?

Singapura misalnya, tidak mempunyai banyak aset namun teknik dan teknologi mereka yang dibentuk dalam kapabilitas manusianya, membuat Singapura bisa mengolah aset-asetnya yang terbatas, bahkan juga aset-aset negara lain. Singapura juga memiliki aset pendukung berupa akses pasar luas, jejaring global, infrastruktur kelas dunia, dan sebagainya yang belum tentu dimiliki oleh negara-negara ASEAN lainnya. Kapabilitas itulah yang membuat Singapura menjadi kompeten.

Kekuatan finansial negara sangat menentukan. Dari mana sumbernya? Kalau ekspor lemah, investasi anjlok, dan komoditi tidak bisa diandalkan maka harapan bertumpu pada pajak sebagai primadona pendapatan negara. Kalau tidak punya uang maka hanya bisa berkhayal. Itulah mengapa pemasukan pemerintah dari para wajib pajak sangatlah krusial.

Reputasi negara di mata dunia juga sangat menentukan. Kalau reputasi kurang baik maka investor enggan menanamkan uangnya di sini. Para pelaku bisnis luar negeri, pemimpin negara, atau petinggi World Bank juga enggan berurusan dengan negara bereputasi buruk.

Stabilitas negara rentan apabila banyak diganggu oleh oknum-oknum berwawasan sempit. Ini memengaruhi peringkat investasi yang dikeluarkan oleh Moody’s, Standard & Poor’s, atau pun Fitch. Kalau peringkatnya turun maka akan merugikan Indonesia. Itulah mengapa nation branding menjadi strategis, branding pariwisata saja tidak cukup. Upaya Kementerian Pariwisata mendatangkan turis tidak akan efektif jika nation branding negara tidak bagus, baik secara persepsi maupun realitas.

Struktur pemerintahan sangat berperan sebagai penentu kapabilitas dinamis. Pemerintah tidak bisa dipaksa menyenangkan semua pihak, apalagi kalau sekadar memenuhi tekanan-tekanan berbagai pihak yang sebenarnya tidak jelas apa kontribusi konkritnya bagi bangsa dan negara. Pemerintah harus tegas menentukan apa yang semestinya dituruti dan apa yang tidak. Itulah esensi strategi. Pada satu titik harus membuat pilihan. Kalau semuanya dipilih maka akan berakhir nihil dan penuh ketidakjelasan.

Indonesia tidak bisa memasarkan semuanya ke seluruh dunia. Harus ada prioritas. Negara-negara yang non-prioritas dijajaki secara efisien saja untuk pengembangan pasar masa mendatang. Ini juga contoh penerapan esensi strategi.

Kalau sejumlah negara bersedia memberikan advokasi positif terhadap Indonesia maka hanya soal waktu pamor Indonesia naik di mata dunia dan selanjutnya dapat membuka akses ke pasar baru. Promosi memang perlu, namun masyarakat dunia lebih percaya pada promosi berupa advokasi dari bangsa-bangsa lain mengenai Indonesia daripada promosi kita sendiri. Advokasi sangat berharga karena dapat memperkuat kepercayaan masyarakat dunia.

Hal terakhir yang merupakan bagian penting kapabilitas dinamis adalah path dependencies. Arah tujuan suatu negara tergantung posisi dulu, sekarang, dan jalur yang akan dipilih. Sejarah itu penting dan tidak bisa dibuang atau dilupakan. Yang dulu pernah terjadi berpengaruh terhadap yang sekarang terjadi. Semua upaya para pejuang, pahlawan, pendiri negara, pemerintah Orde Lama dan Orde Baru, hingga pemerintah era reformasi dan pasca-reformasi membentuk berbagai batasan ruang gerak negara. Itu merupakan ‘repertoire of routines’ melalui proses pembelajaran panjang penuh ralat dan galat yang membentuk trayektori negara.

Trayektori memiliki inersia sehingga sulit diubah seketika oleh sekelompok orang. Kalau dipaksa pasti akan timbul kegaduhan. Kelompok-kelompok tersebut justru harus berintrospeksi, jangan-jangan merekalah yang tidak punya kapabilitas dinamis lalu menjadi usang, tidak relevan. Sayang sekali, menjadi usang dan irelevan tidak mudah diterima oleh yang mengalami. Eksesnya adalah berbagai konflik tidak produktif yang dipicu oleh kelompok tersingkir. Mau tetap relevan? Sederhana: bertransformasilah!

Keberhasilan pembangunan harus dipelajari prosesnya lalu direplikasi untuk konteks waktu yang berbeda. Tidak mudah memang. Namun jika kita bisa bisa mereplikasi keberhasilan negara kita sendiri atau negara lain maka akan memperkuat kapabilitas dinamis Indonesia. Korea Selatan dan Tiongkok misalnya, bisa mereplikasi keberhasilan negara-negara lain yang lebih maju. Indonesia semestinya bisa.

Mari renungi mengapa negara kita yang sangat kaya sulit bergerak secepat Tiongkok, Korea Selatan, atau Singapura. Aset besar tanpa kapabilitas untuk mengelolanya tidak bisa membawa Indonesia menjadi negara kompetitif. Padahal kedaulatan hakiki tercapai jika negara kita kompeten. Kalau tidak, maka kedaulatan tersebut hanya berupa batas-batas teritorial dan kita tidak menjadi pemain utama, bahkan negeri ini menjadi tempat bermain para pendatang dari negara-negara lain.

Aset terpenting kita sekarang adalah momentum. Ini saatnya Indonesia. Kalau tidak sekarang maka kesempatan tidak akan datang lagi dalam waktu dekat. Sayangnya, seringkali ada penghalang sehingga masa keemasan yang hampir kita raih selalu tertunda. Ini indikasi bahwa Indonesia masih rentan kapabilitas dinamisnya. Kalau kapabilitas dinamis kita kuat maka berbagai ganjalan tidak akan terlalu memengaruhi kecepatan dan arah menuju capaian yang lebih baik.

Kesimpulan pertama, para birokrat, politisi, pemimpin ormas, dan berbagai pihak yang tulus ingin berkontribusi bagi negara harus memahami kapabilitas dinamis supaya mereka dapat berpikir lebih stratejik. Kedua, keyakinan saja tidak cukup untuk mencapai keberhasilan, namum perlu tekad berbuat disertai kapabilitas mumpuni yang akhirnya bisa membawa Indonesia menjadi kompeten dan menjadi negara berdaulat sepenuhnya.

Ketiga, berdasarkan hukum dan perundangan yang berlaku, pemerintah beserta aparat negara tidak perlu segan mengelola (dan jika perlu menyingkirkan) berbagai pihak, individual atau kelompok, abdi negara atau bukan, yang ditengarai menjadi liabilities karena berjalan di luar trayektori mulia yang sudah dirintis sejak zaman Majapahit, zaman Walisongo, zaman Revolusi Kemerdekaan, hingga sekarang.

Related